Usai tanya jawab yang melelahkan, Abi melangkah meninggalkan kantor yang berada di lantai lima itu. Kakinya berjalan gontai menuju sebuah taman. Dan di sana, di taman yang kebetulan sedang sepi ia melampiaskan kekesalan. Mengumpat habis-habisan. Menendang bayangan matahari di atas tanah yang dirasanya tak mampu mengalahkan hati yang panas mendidih.
***
Abi bergegas membuka pintu rumah yang tidak terkunci. Fatimah yang tengah merapikan meja makan agak terkejut melihat kemunculannya.
"Apa tujuanmu mengirim kopi surat itu kepada atasanku?" Abi langsung mencecar Fatimah.
"Bukankah seharusnya begitu?" Fatimah menyahut ringan.
"Kau sudah terlalu jauh melangkah, Fatimah!" mata Abi menyala. Bagai mata harimau yang kelaparan.
"Kurasa tidak. Ini baru langkah awal, Tuan Abi. Langkah selanjutnya--kita akan segera bertemu di Pengadilan Agama," Fatimah tersenyum.
***
Setan tertawa. Ya, setan memang selalu tertawa setelah berhasil mengadu domba musuh bebuyutannya. Manusia.
Seperti saat ini, setan tengah terbahak-bahak dan menari-nari, menyaksikan dua hati yang pernah saling mencintai berbalik saling membenci. Kebencian yang akan mengantarkan mereka ke dalam jurang kehancuran.
Dari sini Fatimah menyadari betapa rapuh rumah tangga yang ia bangun selama ini. Biduk itu hanya mampu bertahan tidak lebih dari satu dasa warsa. Saat anak-anak mulai tumbuh dan membutuhkan perhatian lebih dari kedua orangtuanya, semua harus berakhir.