Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cermin [#3] | Fatimah, Biduk yang Tak Terselamatkan

13 Agustus 2019   04:03 Diperbarui: 13 Agustus 2019   04:02 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: wallpapers.ae

Kisah Sebelumnya: 1, 2 

Prahara itu telah menyebar ke mana-mana. Tak mampu ditutup-tutupi atau disembunyikan lagi. Kabar angin telah sampai pula ke telinga sang atasan di mana Abi bekerja. Dan laki-laki itu tidak bisa mangkir lagi ketika ia dipanggil dan harus menghadap ke ruangan pimpinannya.

Inilah untuk pertama kali Abi harus memutar otak, mencari alasan mengapa ia tidak tinggal seatap lagi dengan Fatimah.  

Haruskah ia berterus terang tentang sisi pelik rumah tangga yang tengah dihadapinya? Siapkah ia dengan segala sanksi jika mengatakan semuanya dengan jujur?

Dalam kebimbangan yang nyata, Abi memutuskan untuk berkilah. Ia tidak ingin  mempertaruhkan karier yang telah dibina selama bertahun-tahun. Ia belum siap untuk hancur.

"Semua berita yang tersebar tidak benar. Kami---saya dan Fatimah baik-baik saja," tutur Abi dengan suara bergetar.

"Benar begitu?" sang pimpinan menatap tajam ke arahnya. Mendadak Abi menjadi gugup. Tatapan mata sang pimpinan seolah menerkam dan menelanjanginya.

"Lalu bagaimana dengan surat yang sampai di meja kerjaku pagi ini?" tanya laki-laki yang menjadi bos-nya itu seraya menunjuk sebuah amplop berwarna putih yang tergeletak di hadapannya. 

Wajah Abi menegang. Tangannya gemetar meraih amplop itu. Dan mulutnya nyaris terpekik ketika mengetahui isi amplop yang berada di dalam genggamannya. 

Sebuah kopi surat seperti yang pernah ia berikan kepada Fatimah. 

Apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Sudah kepalang tanggung. Ia tak mungkin bisa mangkir lagi. Meski akhirnya dengan amat terpaksa ia mengakui, bahwa rumah tangganya bersama Fatimah memang tengah dilanda masalah.

Usai tanya jawab yang melelahkan, Abi melangkah meninggalkan kantor yang berada di lantai lima itu. Kakinya berjalan gontai menuju sebuah taman. Dan di sana, di taman yang kebetulan sedang sepi ia melampiaskan kekesalan. Mengumpat habis-habisan. Menendang bayangan matahari di atas tanah yang dirasanya tak mampu mengalahkan hati yang  panas mendidih.

***

Abi bergegas membuka pintu rumah yang tidak terkunci. Fatimah yang tengah merapikan meja makan agak terkejut melihat kemunculannya.

"Apa tujuanmu mengirim kopi surat itu kepada atasanku?" Abi langsung mencecar Fatimah.

"Bukankah seharusnya begitu?" Fatimah menyahut ringan.

"Kau sudah terlalu jauh melangkah, Fatimah!" mata Abi menyala. Bagai mata harimau yang kelaparan.

"Kurasa tidak. Ini baru langkah awal, Tuan Abi. Langkah selanjutnya--kita akan segera bertemu di Pengadilan Agama," Fatimah tersenyum.

***

Setan tertawa. Ya, setan memang selalu tertawa setelah berhasil mengadu domba musuh bebuyutannya. Manusia.

Seperti saat ini, setan tengah terbahak-bahak dan menari-nari, menyaksikan dua hati yang pernah saling mencintai berbalik saling membenci. Kebencian yang akan mengantarkan mereka ke dalam jurang kehancuran.

Dari sini Fatimah menyadari betapa rapuh rumah tangga yang ia bangun selama ini. Biduk itu hanya mampu bertahan tidak lebih dari satu dasa warsa. Saat anak-anak mulai tumbuh dan membutuhkan perhatian lebih dari kedua orangtuanya, semua harus berakhir.

Waktu terus bergerak. Tak bisa ditolelir sesuai dengan titah dan kehendakNya. Tak ada yang mampu menghentikan. 

Demikian juga berkas-berkas gugatan cerai yang sudah masuk dan berada di hadapan Tuan Hakim.

Fatimah. Perempuan itu tinggal menunggu perjalanan takdir selanjutnya.

Bersambung...

***

Malang, 13 Agustus 2019
Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun