Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Event Fiksi Mini] Gadis Kecil Pencuri Senja

7 Juli 2019   23:19 Diperbarui: 8 Juli 2019   00:00 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:shutterstock

Ketika aku kecil, setiap sore sepulang mengaji aku selalu menyempatkan diri mencuri senja. Senja yang suka menari di tepi pelataran langit berwarna jingga.

Senja yang kucuri itu diam-diam kusembunyikan di balik kerudung panjangku. Dan sesampai di rumah kubawa ia masuk ke dalam kamar--tanpa sepengetahuan Ibu tentunya. Lalu kumasukkan ke dalam botol kecil bekas anggur kolesom cap orangtua yang biasa diminum oleh Ayah. 

Sembari menunggu azan Magrib tiba, aku dan senja menghabiskan waktu dengan saling bertukar cerita. 

Senja paling suka mendengar kisah yang kualami di sekolah. Saat aku disetrap oleh Ibu guru dan harus berdiri di depan kelas dengan satu kaki. Sementara kedua tangan bersilang di belakang kepala memegangi ujung cuping daun telinga.

"Wah, itu tentu menyenangkan sekali! Apakah Ibu guru menghukummu karena kamu lupa mandi dan gosok gigi?" senja bertanya sembari tertawa renyah. Hingga wajahnya yang memerah dadu berubah menjadi biru.

"Bukan! Bukan karena itu. Aku disetrap karena bangun tidur kesiangan. Kukira waktu masih pukul setengah enam. Ternyata sudah hampir pukul setengah sembilan. Ketika aku masuk ke ruang kelas, pelajaran pertama hari itu hampir tuntas," jawabku seraya ikut mengumbar tawa lepas.

Suara tawa kami yang berderai membuat Ibu yang tengah menjahit celana pensi milik Ayah yang sudah luntur warnanya, buru-buru datang menghampiri. 

"Kamu bercanda dengan siapa, Prita?" Ibu bertanya heran.

"Dengan senja," aku menjawab riang. Seketika Ibu menyapu pandangannya ke seluruh ruangan. Mencari-cari sesuatu. Kemudian tangannya yang lembut menyibak tirai jendela.

"Tidak ada siapa-siapa di sini, Prita. Kau jangan membohongi Ibu," kali ini suara Ibu agak meninggi.

"Ssst...biar aku saja yang bicara dengan Ibumu," bisik senja yang bersembunyi di dalam botol bekas anggur kolesom, mengagetkanku. Tentu saja itu membuatku buru-buru menutup mulut botol dengan satu jari. Dan baru menariknya kembali ketika Ibu sudah benar-benar berlalu pergi meninggalkan kamarku.

-'---

Ketika aku kecil, aku lebih suka bermain dengan senja. Senja yang manis, yang kucuri setiap kali aku pulang dari mengaji.

Aku tidak peduli meski banyak orang menganggap aku adalah sosok gadis kecil yang aneh. Penyendiri. Jarang ke luar kamar. Kecuali pergi sekolah dan mengaji di surau yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah tempat tinggalku.

Aku tahu Ibu sangat mengkhawatirkan perkembangan perilakuku. Itulah mengapa beberapa kali Ibu meminta agar aku berkumpul dan bermain bersama teman-teman sebaya. Tapi entah mengapa. Aku tetap tidak mau beranjak pergi meninggalkan kamarku.

Ah, Ibu. Aku sebenarnya tidak butuh teman lagi. Aku sudah memiliki senja. Ia lebih dari sekadar seorang teman. Ia sangat baik hati dan sangat mengerti akan diriku.

"Prita, jangan mengurung diri terus seperti ini," suatu petang Ibu kembali menegurku ketika melihat aku duduk bersila di atas lantai kamar. Dan seperti biasa, Ibu mengira aku tengah sendiri.

Bagaimana aku harus menjelaskan kepada Ibu bahwa aku sebenarnya tidak sendiri? Aku sedang ditemani oleh senja. Kami duduk berhadapan. Bersiap berlomba adu cepat mengisi lubang-lubang papan permainan dakon dengan biji-biji kerikil yang kujumputi di jalanan sepulang dari mengaji sore tadi.

Melihat aku tidak merespon ucapannya, Ibu perlahan berlalu meninggalkan kamarku.

Dan aku kembali melanjutkan bermain bersama senja.

"Aku menang!" senja berseru girang. Ketika ia lebih dulu berhasil memenuhi lubang-lubang dakon miliknya.

"Ah, kamu curang!" aku menarik papan permainan, menumpahkan seluruh isinya hingga berserakan di atas ubin yang dingin. Lalu kulemparkan papan dakon itu, dan--bletak! Tanpa sengaja papan itu mengenai kepala senja. 

Meski tampak kesakitan senja tidak menangis. Ia juga tidak marah. Ia bahkan meraih tanganku yang gemetar.

"Sudahlah, jangan berpucat wajah seperti itu. Kita bermain yang lain saja, yuk. Bagaimana kalau aku mengajarimu membuat sajak?" senja menggamit pundakku yang ringkih.

Mendengar kata sajak, seketika aku melonjak. 

Ya, sajak. Sudah lama aku ingin belajar menuliskannya. Aku pernah membaca sajak milik Ibu guru di sekolah. Sajak itu sangat indah. 

Ketika senja benar-benar mengajariku, aku tidak bisa mengungkapkan seberapa sangat gembiranya hatiku. 

------

Ketika aku kecil, aku pernah memenuhi dinding kamarku dengan sajak-sajak yang diajarkan oleh senja. Sajak-sajak itu bercerita tentang beragam perasaan. Perasaan senang ketika aku berhasil menjadi juara kelas. Perasaan sedih ketika aku tidak bisa merayakan ulang tahun seperti teman-teman sebayaku karena kehidupan kami yang pas-pasan. Dan perasaan kehilangan ketika aku tidak bisa lagi memiliki kesempatan untuk mencuri senja setiap kali pulang dari mengaji.

Ya. Semenjak Ayah terserang sakit, aku harus pandai-pandai membagi waktu antara belajar dan membantu Ibu mengumpulkan uang. 

Tapi sesekali waktu, ketika membuka daun jendela kamar, aku berbisik perlahan. Menitip pesan kepada angin yang kebetulan melintas di hadapanku. Bahwa suatu hari nanti, aku akan kembali mencuri senja. Membawanya pulang ke rumah dan mengurungnya di dalam botol susu milik anakku.

***

Malang, 07 Juli 2019

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun