Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kuncup Kembang Kantil

15 Juni 2019   04:45 Diperbarui: 18 Juni 2019   21:49 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pixabay/neoloky

Entah sudah berapa kali setiap ada perhelatan pernikahan yang kami kunjungi, secara diam-diam Ibu selalu menyempatkan diri memetik satu kuncup kembang kantil yang berjuntai di antara rangkaian melati pada hiasan sanggul mempelai perempuan. Lalu tangan keriputnya sigap menyisipkan kuncup kembang kantil itu ke balik kutangku.

Pada awalnya aku merasa heran melihat apa yang dilakukan Ibu. Tapi kemudian berubah geli. Ya, geli karena alasan yang disampaikan Ibu sehubungan dengan upayanya mengambil kuncup kembang kantil secara diam-diam itu terdengar sangat tidak masuk akal.

"Kuncup kembang kantil ini akan menularimu agar segera mendapat jodoh, Sri."

Jodoh. Itulah sebab utamanya. Aku paham apa yang ada di dalam pikiran Ibu. Ibu mulai mengkhawatirkan status lajangku. Apalagi usiaku sudah memasuki kepala tiga. Usia yang sangat rentan menjadi bahan pembicaraan.

"Kapan menikah, Sri?"

"Masih betah sendiri, Sri?"

"Menunggu siapa lagi, sih, Sri?"

Beragam pertanyaan seperti itu sudah kebal di telingaku. Jujur, aku sama sekali tidak mempermasalahkannya. Karena aku yakin jodoh merupakan salah satu wewenang Tuhan. Manusia tidak berhak ikut campur di dalamnya.

Tapi kembali lagi kepada Ibu. Perempuan tua itu semakin terlihat sedih manakala mengetahui satu persatu teman-teman sepantaranku sudah menemukan pendamping hidup mereka. Bahkan banyak pula yang sudah memiliki momongan.

Jika sudah seperti ini Ibu akan lebih sering diam dan menghindari bersitatap muka denganku. Kami jadi jarang berkomunikasi. Kecuali saat ada undangan perhelatan pernikahan baru Ibu antusias mengajakku bicara.

Seperti kemarin. Ibu tergopoh membangunkan tidur siangku. Mengingatkan bahwa hari itu kami harus segera menghadiri undangan pernikahan salah seorang sepupu yang tinggal di desa sebelah.

"Kita jangan sampai terlambat datang, Sri," Ibu menegurku.

"Bukankah undangannya bebas, Bu? Tidak ada batasan jam resepsinya," sahutku seraya merapikan rambut yang kusut.

"Memang bebas. Tapi bukan itu masalahnya, Sri. Seperti biasa Ibu harus..." Ibu terdiam sejenak. Aku tersenyum. Aku tahu ke mana arah pembicaraan Ibu. Dan apa maksud Ibu mengajak datang lebih awal dari tamu undangan yang lain. 

Apalagi kalau bukan untuk "mengambil" secara diam-diam satu kuncup kembang kantil itu. Ya, sudahlah. Demi menyenangkan hati orang tua yang tinggal satu-satunya, aku bergegas merias diri.

***

Sumber: publicinsta.com
Sumber: publicinsta.com
Kami tiba di rumah sepupu ketika acara panggih manten akan dimulai. Ibu berjalan tergesa, menerobos di antara para pengiring yang sudah berbaris rapi. Lalu mengambil tempat tepat di sebelah kiri mempelai putri yang sore itu mengenakan gaun pengantin sangat indah.

Sementara aku berdiri agak jauh di belakang. Mengawasi tingkah laku Ibu dengan perasaan trenyuh. Ah, Ibu. Sampai sebegitunya rasa sayangmu terhadap anak gadismu yang belum juga menemukan jodoh ini.

Seseorang menggamit pundakku. Membuatku terkejut dan menoleh.

"Mas Basuki?" aku mundur beberapa langkah.

"Apa kabar, Sri?" suara berat itu menyapa merdu di telingaku.

"Ba-ik Mas!" agak gugup aku menjawab.

"Kau tampak kurusan, Sri. Tapi---masih tetap terlihat manis," Mas Basuki tersenyum-senyum melihat aku salah tingkah.

"Mana istrimu, Mas?" mendadak suaraku berubah sedih. Ya, aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku. Perasaan pernah kecewa karena harus mengikhlaskan lelaki di hadapanku ini menikahi gadis lain.

"Aku datang sendiri, Sri. Kenapa?" Mas Basuki masih mengumbar senyum. Seketika mataku nanar. Menatap ke sana ke mari. Mencari keberadaan seorang perempuan, istri Mas Basuki.

"Kau tidak percaya kalau aku datang sendiri, Sri? Kau sama sekali tidak berubah. Masih Sri Kanti yang dulu, yang sulit diyakinkan," Mas Basuki terbatuk sejenak. Lalu menghela napas panjang.

"Bisa kita bicara di tempat yang lebih tenang, Sri? Maksudku---bukan di acara temu panggih ini." Mas Basuki menatapku. Entah mengapa kepalaku bergerak mengangguk, mengiyakan.

Mas Basuki berjalan mendahuluiku. Menuju anak tangga yang menghubungkan antara ruang bawah dan balkon di lantai dua. Dan aku mengikutinya dengan langkah tertatih.

Kami duduk berhadapan. Menatap senja yang mulai temaram. Sayup-sayup gending kebo giro mulai menghilang. Kiranya acara panggih manten di bawah sudah usai.

Mendadak aku teringat Ibu. Pasti Ibu kebingungan tidak menemukan keberadaanku di antara para tamu.

"Sri. Aku ingin mengatakan ini kepadamu. Tidak ada pernikahan yang terjadi. Gadis pilihan orang tuaku, sama seperti aku--ia menolak perjodohan kami," Mas Basuki meraih tanganku. Aku terperangah.

"Kenapa Mas menolak?" suaraku bergetar. Mas Basuki semakin erat menggenggam jemari tanganku.

"Apakah harus kusampaikan sekali lagi bahwa aku..."

"Sri! Oalah, Ibu mencari-carimu ke mana-mana, Nduk. Jebule ada di sini," Ibu muncul dengan napas terengah. Buru-buru aku berdiri dari dudukku. Menghampiri Ibu dan memeluk erat pundak ringkihnya.

"Maafkan Sri, yang sudah meninggalkan Ibu..."

Ibu menarik napas panjang. Rona sedih terpancar dari kedua matanya yang mulai melabur.

"Sri, Ibu tidak berhasil mendapatkan kuncup kembang kantil itu, Nduk. Ternyata pengantin kali ini memilih adat modern. Tanpa rangkaian bunga melati," Ibu berbisik kecewa. Entah mengapa aku merasa senang mendengar ucapan Ibu. Yup. Tidak ada kuncup kembang kantil!

Sontak mataku tertuju pada sosok Mas Basuki yang berdiri menatap kami berdua, aku dan Ibu. Laki-laki itu kemudian menganggukkan kepala dan berjalan menyongsong Ibu. Mencium lembut penuh hormat tangan perempuan yang telah melahirkanku itu.

"Siapa ini, Sri?" Ibu mengamati wajah Mas Basuki dengan seksama.

"Saya Basuki. Saya akan sowan segera ke rumah Ibu untuk melamar Sri Kanti," Mas Basuki mewakiliku menjawab seraya tersenyum sumringah ke arah Ibu.

Tiba-tiba saja kulihat Ibu terisak.

***

Malang, 15 Juni 2019
Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun