--------------
Aku menyebutnya lelaki yang 'terlambat datang'. Lelaki yang terselip di antara beribu--bahkan mungkin berjuta bintang yang berlalu lalang di langit malam. Dan aku terkejut, karena tanpa sengaja aku menemukannya.
Ia sangat berbeda, Ara. Ia berkelip dengan sinar berwarna-warni yang tak ada di dalam spektrum. Warna yang tidak bisa kujabarkan di sini. Dan aku sungguh sangat terkesima.Â
Perasaan itu, Ara, terkesima atau apapun namanya, mampu membuat gerimis kecil di mataku tetiba ingin menitik membasahi pipi.
Kau tahu, aku memang selalu begitu. Dalam keadaan apapun, sedih atau bahagia, aku tak bisa menjauhkannya dari airmata.
Aku sudah lelah menghitung, Ara. Berapa banyak tamu yang datang bertandang, sekadar ingin tahu apa yang sedang kulakukan di balik pintu usang itu. Pintu yang bertahun kukunci dan kupalang dengan kutukan serupa ikrar janji.Â
Janji; bahwa aku tidak akan pernah membuka pintu usang itu untuk siapa pun dan sampai kapan pun.
Ah, Ara.
Sejauh ini aku bergeming. Kuabaikan segala hiruk pikuk di luar sana. Aku lebih suka sendiri, duduk terpekur di sudut kamar mengakrabi sunyi.
Sampai kemudian kutemukan laki-laki yang 'terlambat datang' itu. Ia tak ubahnya pengamen jalanan. Ya, pengamen jalanan. Yang tak peduli pada sekeliling, apakah orang-orang mau mendengarkan suaranya atau tidak. Ia tetap melantunkan tembang dengan cara yang dimaui dan dikehendakinya sendiri.Â
Dan suatu pagi, di musim yang tak tercatat dalam almanak hari. Aku kehilangan kuasa atas janji-janji yang pernah kulontarkan. Aku telah menyalahi dan melanggar kutukanku sendiri.