Maka segera dilarikan segala angan yang sempat membuncah di dalam dadanya ke dalam syair yang digubahnya sendiri. Ia mengguritnya di atas berlembar-lembar daun lontar tanpa jeda. Ia ungkapkan semua hasrat yang terpendam dalam lakon cinta yang paling indah. Dan Shinta pun mengakui. Bahwa ia sungguh sangat terkesima.
Orang lain bisa saja berpikir Rahwana itu kasar. Rahwana itu buruk. Pecundang. Bajingan. Tidak memiliki hati. Tapi sekarang mari kita menelaah barang sejenak. Adakah seseorang tak berhati bisa menggubah syair sedemikian indah? Atau mungkinkah seorang bajingan melindungi korbannya selama dua belas tahun bahkan dari kejahatan tangannya sendiri?
Rahwana nyaris tidak pernah menjamah Shinta secara fisik. Demikian yang diceritakan dalam sahibul hikayat. Tapi secara nurani sesungguhnya ia tidak saja telah menyentuh istri Sri Rama itu, namun juga telah mendekapnya. Merengkuhnya. Erat. Dalam kasih tiada batas.
Ketika perdebatan menyoal kebaikan dan keburukan Rahwana masih terus bergulir, Shinta justru memberi pengakuan yang amat mengejutkan.
"Dunia telah memutarbalikkan kenyataan. Kadang yang kita anggap jahat, sebenarnya itulah kebaikan. Dan apa yang kita anggap baik, bisa jadi itu kejahatan yang menyaru rupa."
Di penghujung kisah Ramayana disebutkan. Saat Rama membiarkan Shinta menjalani pati obong, Rahwana justru menjerit histeris karena terlambat menolong pujaan hatinya itu.Â
Jadi siapakah sesungguhnya sang pemilik cinta sejati?
Rama ataukah Rahwana?
***
Malang, 16 September 2018
Lilik Fatimah Azzahra