Senja.
Aku baru saja membakar senja. Melabur pipinya yang jingga menjadi hitam berjelaga. Kuakui. Aku bosan dengan warna senja yang itu-itu juga. Aku ingin senja yang lain. Senja yang hangat tak lagi dingin.
Matahari.
Aku baru saja menjaring matahari. Melucuti biasnya yang warna warni. Menabur cerlangnya pada sisi sayap kunang-kunang. Kusadari. Sejak kau pergi, tak ada lagi suluh yang memanduku. Aku sendiri. Tertatih menyusuri tepian waktu.Â
Hujan.
Baru saja aku menegur hujan. Memintanya agar tidak mendramatisir keadaan. Biar saja sedih mengalir sampai ke hilir. Atau luka bebas mencari sendiri penawarnya. Usah diantar dengan kecemasan. Apalagi sampai menggelar konser sedu sedan.
Kata.
Aku baru saja menjumputi kata-kata. Yang tercecer di sepanjang pematang rasa. Kujalin mereka menjadi untai kalimat tak bersekat. Bermula dari senja yang pekat menuju matahari yang pucat, dan berakhir pada hujan yang teramat sulit ditaklukan.Â
Lantas untuk apa engkau masih mempertanyakan--tentang syair yang tetiba sudah saling bertautan.
***
Malang, 19 Agustus 2018
Lilik Fatimah Azzahra