Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Serial Mas Bagas) "Kenakan Kembali Seragammu, Mas"

11 Agustus 2018   14:28 Diperbarui: 11 Agustus 2018   14:43 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : www.militarycupid.com

Mas Bagas melipat seragam kebanggaannya. Lalu disodorkan perlahan ke arahku.

"Simpan ini baik-baik, ya, Jeng," ujarnya dengan suara bergetar.

"Sudah kau pikirkan keputusanmu?" Aku menatapnya tak berkedip. Ia melempar pandang ke luar jendela.

"Bukankah sejak kecil cita-citamu ingin menjadi seorang tentara?" kuraih lengannya yang berotot. Aku bergelayut manja di sana.

"Aku berhutang budi pada kedua orang tuaku, Jeng," ujarnya setengah mendesah.

"Hutang budi apa?" aku berjinjit dan mendekatkan bibirku hingga menyentuh belakang cuping telinganya.

"Selama ini Ayah dan Ibu sudah berjuang mati-matian mengangkat derajadku. Memberiku yang terbaik, memanjakanku, dan mempermudah segala urusanku."

"Orang tua memberi yang terbaik bagi anak-anaknya memang sudah kewajiban, Mas. Bukan sebuah tindakan yang mesti berbalas budi," aku menyentuh pipinya yang tirus. Mas Bagas terdiam. Sebenarnya aku paham--sangat paham, bagaimana perasaannya saat ini. Ia sedang mengalami ewuh pakewuh. Dilema. Bingung mesti bagaimana menempatkan diri.

"Jika yang ditawarkan Ayah dan Ibu bertentangan dengan hati nuranimu, kau punya hak untuk menolak, Mas. Politik bukan duniamu. Kau terbiasa memegang senjata, bukan memegang mikrofon untuk berorasi."

"Sudahlah, Jeng. Aku tidak suka berdebat." Ia melingkarkan lengannya pada pundakku.

"Mulai sekarang Mas harus menyukainya! Mas bisa belajar berdebat denganku!" sindirku. Mas Bagas terdiam. Perlahan ia melepas rengkuhannya, merapikan ujung lengan kemejanya yang kusut. Lalu mengecup keningku dan berjalan melenggang menuju ruang tamu.

Di sana kedua mertuaku yang penuh ambisi itu sudah duduk menunggu.

***
"Aku butuh bantuanmu, Bram, ini serius," ujarku kepada Bram, adik sepupuku.

"Bantuan apa, Mbak?" Bram mengernyitkan alis. Aku mengangkat tanganku meminta Bram untuk mendekat.

"Bisa kan, Bram, kau bawa dia bertemu denganku?" aku menatap Bram penuh harap. Bram tak segera menyahut, ia mengacak-acak rambut gondrongnya sejenak.

"Aku lebih bangga melihat Mas Bagas mengenakan seragam hijaunya dan mengokang senjata ketimbang memakai setelan jas hitam dan berdasi." Mataku menerawang jauh.

"Wokeeh, deh, Mbak. Jangan sedih begitu, aku berjanji akan membawa dia ke hadapanmu!" Bram berseru lantang sembari mengumbar tawa.

***

Aku menyerahkan setelan jas dan dasi hitam yang masih terlipat rapi.

"Selamat bertugas. Semoga acara debat kusir hari ini berjalan lancar," ujarku seraya mengulum senyum. Ia mengangguk. Diraihnya setelan jas itu, lalu mengenakannya dengan sedikit ragu.

"Kau pantas sekali memakainya," pujiku. "Bergegaslah, semua orang sudah menungggumu."

Tanpa menyahut ia berjalan menemui kedua mertuaku yang sejak tadi duduk menunggu di ruang tamu.

"Kita siap berangkat, Gas?" Ayah mertua berdiri diikuti oleh Ibu mertua. Kemudian kedua pini sepuh itu menggandeng bangga lengannya. Ia tampak rikuh. Tapi hanya sesaat.

Mereka berjalan beriringan menuju salah satu mobil yang terparkir di halaman rumah. Beberapa orang tampak tergopoh menyambutnya, menyalami dan meneriakkan yel-yel dengan penuh semangat.

Aku berdiri di ambang pintu. Seulas senyum masih tersungging di bibirku.

Mobil silih berganti menderu meninggalkan halaman parkir yang luas. Mobil yang dikendarainya berada di posisi paling depan. Kulihat ia melambaikan tangan ke arah orang-orang yang berdiri berjajar di sepanjang pintu pagar.

Aku menunggu beberapa saat. Membiarkan mobil-mobil itu menjauh dan menghilang di tikungan jalan.

Suasana kembali hening. Aku berbalik masuk ke dalam rumah. Menutup pintu perlahan dan meraih ponsel yang sejak tadi kubiarkan tergeletak di atas meja.

"Bram, penyamaran temanmu itu boleh juga. Tak seorang pun menyadari kalau dia sebenarnya bukan Mas Bagas."

"Oh, ya? Syukurlah. Wajah dan postur Ryan memang sangat mirip Mas Bagas, Mbak."

Aku tersenyum lagi.

"Bagaimana keadaan suamiku?" aku mengalihkan pembicaraan.

"Ia baik-baik saja Mbak. Tapi masih belum siuman. Obat tidur yang Mbak berikan sepertinya over dosis!"

Kali ini aku tak bisa menahan tawa. Yah, semua terpaksa aku lakukan. Aku tidak ingin melihat suamiku yang pendiam terpaksa melakukan hal yang tidak mampu dilakukannya. Aku ingin membebaskannya sejenak dari belenggu ambisi kedua orang tuanya.

Kukira sementara ini ia aman. Pondok di tengah hutan itu sangat nyaman. Biarlah Mas Bagas beristirahat di sana ditemani Bram barang beberapa hari.

"Jangan lupa, Bram. Kalau Mas Bagas sudah siuman, ajak ia berlatih menembak lagi ya. Seragam tentara dan pistol kesayangannya sudah kusiapkan di dalam ransel."

***

Malang, 11 Agustus 2018

Lilik Fatimah Azzahra

NB: Cerpen ini pernah diposting di blog lain pada 09 Januari 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun