"Namamu kuambil dari salah satu  tokoh pewayangan, Dewi Arimbi. Ia perempuan hebat. Pernah menjadi penguasa Pringgandani menggantikan kakaknya yang tewas di tangan Bima suaminya sendiri. Ia melahirkan putra sakti mandraguna bernama Gatotkaca," begitu kakek menjelaskan panjang lebar sehubungan dengan asal-usul nama saya.
"Dewi Arimbi seorang raseksi. Tapi ia memiliki hati yang baik. Dan kakek berharap padamu. Kau bisa menjadi perempuan hebat seperti Arimbi."
Saya sangat terkesan mendengar penjelasan kakek. Kakek saya itu orang pintar. Ia mengetahui banyak hal. Dan, ups, tiba-tiba saja terlintas dalam pikiran saya, mengapa saya tidak bertanya saja kepada kakek---apakah benar saya sudah mati?
Berpikir demikian lantas saya segera menemui kakek. Kakek tengah memintal benang untuk kain sarung ketika saya datang.
"Kek, apakah benar saya sudah mati?" saya mencium tangan kakek. Tapi kakek diam saja. Tidak merespon pertanyaan saya. Ia terus saja melanjutkan pekerjaannya. Ia seolah tidak mendengar ataupun melihat saya.
Saya mencoba sekali lagi bicara dengan kakek. Tapi kakek tetap bungkam. Dan itu membuat saya sedih. Saya pun menangis.
Tapi bukan air yang keluar dari sudut mata saya. Melainkan kuncup bunga perdu, warnanya ungu. Kuncup itu lembut menyentuh kedua pipi saya. Saya pun menghentikan tangis saya, menggantikannya dengan seulas senyum.
"Terima kasih, Kakek. Saya senang ternyata saya belum mati. Kalau saya sudah mati, pasti Kakek bisa mendengar dan melihat saya. Bukankah sesama orang mati bisa saling berinteraksi?"
Lalu saya kembali mencium tangan kakek. Menghidu aroma pandan yang menguar dari pori-pori kulitnya.
***
"Jangan lupa sarapan!"