Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kata Orang-orang Saya Sudah Mati

30 Maret 2018   21:02 Diperbarui: 30 Maret 2018   21:22 7136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : www.pinterest.com

Benar. Mereka bilang begitu. Katanya saya sudah mati. Sejak beberapa jam lalu. Tubuh saya ditemukan terbujur di lantai dapur. Lalu orang-orang memindahkan jasad saya. Dan saya pun menjalani prosesi selayak orang yang sudah mati; dimandikan, dikafani, disholatkan kemudian diusung ke pemakaman terdekat.

Kata orang-orang ketika saya mati, anak-anak saya menangis. Kedua orang tua saya bersedih. Tetangga kanan kiri saya ikut berkabung.

Masih kata orang-orang---saat jasad saya dimasukkan ke dalam keranda, Mas Burhan---suami saya wajahnya biasa-biasa saja. Tidak menampakkan kesedihan atau rasa kehilangan. Tapi itu kan kata orang-orang. Saya tidak begitu saja mempercayainya. Sebab saya tidak melihatnya sendiri.

"Tentu saja kamu tidak bisa melihatnya. Kamu kan sudah mati!" seru seseorang---entah siapa, yang siang itu katanya ikut mengantar jenazah saya hingga ke pekuburan.

"Siapa bilang orang mati tidak bisa melihat apa-apa? Memangnya kamu sudah pernah mati?" saya menghardik orang itu. Dan orang yang saya hardik itu berlari ketakutan. Ia lalu menyebar gosip murahan. Katanya, saya sudah menjadi hantu. Nyawa saya gentayangan.

Saya lalu bertanya pada seekor kucing betina yang melintas di hadapan saya. "Pus, apa benar saya sudah mati?"

Kucing itu hanya diam. Memandangi saya. Hewan berbulu itu tidak menjawab apa-apa. Dari sini saya tahu bahwa orang-orang itu sudah berbohong kepada saya. Memfitnah saya dengan mengatakan saya sudah mati.

Saya senang ketika mendengar kucing betina yang baru saja saya tanya itu mengeong saat diganggu oleh seekor kucing jantan. Kalau saya sudah mati, pasti bukan suara eongan yang saya dengar. Bisa jadi umpatan-umpatan kasar semacam 'bangsat' atau 'bajingan'.

Konon menurut cerita, orang mati bisa memahami bahasa hewan, termasuk bahasa kucing. Jadi saya yakin, sebenarnya saya belum mati.

Saya masih berdiri di antara kerumunan orang-orang. Saya sempat mendengar beberapa dari mereka berkasak-kusuk, membicarakan saya. "Kasihan Jeng Arimbi. Ia mati mengenaskan. Dan yang lebih kasihan lagi, ruhnya belum mendapatkan tempat yang tenang."

Ya, Arimbi adalah nama saya. Nama pemberian kakek saya.

"Namamu kuambil dari salah satu  tokoh pewayangan, Dewi Arimbi. Ia perempuan hebat. Pernah menjadi penguasa Pringgandani menggantikan kakaknya yang tewas di tangan Bima suaminya sendiri. Ia melahirkan putra sakti mandraguna bernama Gatotkaca," begitu kakek menjelaskan panjang lebar sehubungan dengan asal-usul nama saya.

"Dewi Arimbi seorang raseksi. Tapi ia memiliki hati yang baik. Dan kakek berharap padamu. Kau bisa menjadi perempuan hebat seperti Arimbi."

Saya sangat terkesan mendengar penjelasan kakek. Kakek saya itu orang pintar. Ia mengetahui banyak hal. Dan, ups, tiba-tiba saja terlintas dalam pikiran saya, mengapa saya tidak bertanya saja kepada kakek---apakah benar saya sudah mati?

Berpikir demikian lantas saya segera menemui kakek. Kakek tengah memintal benang untuk kain sarung ketika saya datang.

"Kek, apakah benar saya sudah mati?" saya mencium tangan kakek. Tapi kakek diam saja. Tidak merespon pertanyaan saya. Ia terus saja melanjutkan pekerjaannya. Ia seolah tidak mendengar ataupun melihat saya.

Saya mencoba sekali lagi bicara dengan kakek. Tapi kakek tetap bungkam. Dan itu membuat saya sedih. Saya pun menangis.

Tapi bukan air yang keluar dari sudut mata saya. Melainkan kuncup bunga perdu, warnanya ungu. Kuncup itu lembut menyentuh kedua pipi saya. Saya pun menghentikan tangis saya, menggantikannya dengan seulas senyum.

"Terima kasih, Kakek. Saya senang ternyata saya belum mati. Kalau saya sudah mati, pasti Kakek bisa mendengar dan melihat saya. Bukankah sesama orang mati bisa saling berinteraksi?"

Lalu saya kembali mencium tangan kakek. Menghidu aroma pandan yang menguar dari pori-pori kulitnya.

***

"Jangan lupa sarapan!"

"Awas bukunya, jangan ada yang ketinggalan!"

"Bekalnya sudah dimasukkan ke dalam tas belum?"

"Kunci! Mana kunci mobil!"

Keributan yang selalu terjadi di pagi hari.

Kata Mas Burhan saya ini istri paling  bawel. Kata anak-anak saya adalah seorang ibu super cerewet sedunia.

"Jangan lupa mengunci pintu," Mas Burhan mengingatkan saya sebelum mobilnya meraung meninggalkan halaman.

"Mama hati-hati di rumah!" anak-anak ikut mewanti-wanti dan melambaikan tangan ke arah saya. Saya menatap kepergian orang-orang terkasih saya hingga mereka menghilang di tikungan jalan. Lalu saya menutup pintu pagar. Masuk kembali ke dalam rumah.

Astaga! Saya lupa belum mematikan kompor. Saya mencium bau panci gosong. Saya pun bergegas lari menuju dapur.

Dan itulah kesalahan fatal yang saya lakukan. Saya lupa menutup pintu ruang tamu.

Entah sejak kapan orang itu berdiri di sana. Di dekat tembok penyekat antara dapur dan ruang makan. Ia memandangi saya dengan tatap mata nanar.

"Apa kabarmu, Ar?" orang itu menegur saya. Suaranya berat dan serak-serak basah. Tubuh saya seketika menggigil.

"Aku datang menjemputmu," orang itu mendekati saya. Saya semakin ketakutan.

"Tolong, jangan ganggu aku lagi," saya mundur beberapa langkah. Kedua lutut saya gemetar.

"Tidak, Ar. Kau harus ikut denganku," orang itu menyeringai ke arah saya. Dan saya tidak berkutik ketika ia merangsek maju lalu menerkam tubuh saya.

Saya meronta. Tapi orang itu tenaganya lebih kuat dari saya.

Saya nyaris menangis ketika ia berhasil mencium bibir saya.

"Lepaskan aku!" teriak saya. "Hentikan! Beri aku kesempatan untuk menjalani kehidupan dengan normal!" Saya mengiba. Tapi orang itu seolah tidak mendengar kata-kata saya. Ia terus saja menggerayangi tubuh saya.

Kali ini saya tidak tinggal diam. Tangan saya meraih pisau yang sedianya akan saya pergunakan untuk mengiris bawang. Saya hujamkan pisau itu berkali-kali ke arah perut orang itu. Sampai ia terhuyung dan jatuh terkapar. Di lantai dapur bersimbah darah.

Ia mati. Orang yang mengganggu saya itu telah mati.

Jadi sekarang kalian paham bukan? Siapa sebenarnya yang sudah mati? Bukan saya. Tapi orang itu.

Sayangnya orang-orang terlanjur mengira saya sudah mati. Mengira mayat itu diri saya. Padahal bukan. Itu mayat Ambarwati---saudara kembar saya yang mengaku jatuh cinta kepada saya sejak kami dilahirkan.

Karena dianggap sudah mati, saya tidak bisa pulang kembali ke rumah. Orang-orang mengusir saya. Dan saya terpaksa menghabiskan waktu di jalanan.

"Kasihan orang itu. Otaknya terganggu. Ia selalu berhalusinasi menjadi perempuan cantik dan bahagia bernama Arimbi. Ia berkhayal menikah dengan seorang pria tampan bernama Burhan, mempunyai anak dan...."

Entah siapa yang berkata demikian. Saya tidak berusaha mencari tahu. Sebab saya pikir menuduh saya gila jauh lebih baik daripada mengatakan saya sudah mati.

***

Malang, 30 Maret 2018

Lilik Fatimah Azzahra

                                        

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun