Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Tiga Kembar Bernama Rheinkarnasi

21 Juli 2017   18:33 Diperbarui: 22 Juli 2017   19:59 1182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu satu dari tiga gadis kembar itu adalah kekasihku. Dan ia memiliki nama yang unik, Rheinkarnasi. Nama itu ternyata dipakai juga oleh kedua saudaranya. Entah mengapa demikian. Untuk membedakan dari kedua saudaranya, aku memanggilnya Rhein. Rhein terlahir paling dulu. Jadi dengan begitu ia dianggap sebagai anak yang paling bungsu.    

Tentang kecantikan Rhein dan kedua saudara kembarnya itu, teramat sulit untuk digambarkan. Bintang kejora kalah jauh dibanding dengan binar mata mereka. Rona langit di waktu senja kalah ranum dibanding pipi-pipi halus mereka. Pun mentari di pagi hari, tiada bisa menandingi rekah senyum ketiganya.

Menyoal kembar identik mereka, jujur aku kerap terkecoh. Setiap kali aku datang berkunjung ke rumah Rhein, dan salah satu dari saudaranya yang membukakan pintu, aku pasti keliru dan selalu menganggap yang berdiri di hadapanku itu adalah Rhein.

"Rhein, bunga ini untukmu..." aku menyodorkan setangkai mawar dengan senyum suka cita. Tapi wajah di depanku mendadak tersipu.

"Maaf aku bukan Rhein...."

Kalau sudah begitu baru aku menyadari kesalahanku, seharusnya aku menanyakan dulu, apakah aku sedang berhadapan dengan Rhein atau bukan.


Seperti sore itu, aku sempat tertegun ketika melihat ketiganya berdiri di depan pintu. Mereka tampil mengenakan gaun bermodel sama. Rambut pun diikat serupa.

"Rhein...yang mana ya?" tanyaku gagap seraya menatap ketiga gadis kembar itu secara bergantian. Mereka saling berpandangan. Lalu tersenyum, bersamaan. Tentu saja hal itu semakin membuatku bingung.

Setelah menunggu beberapa menit, satu di antara ketiga gadis kembar itu maju dan menyentuh punggung tanganku. Barulah aku bernapas lega. Ia Rhein. Kekasihku. Rhein selalu melakukannya setiap kali kami bertemu.

"Kami pamit pergi, ya. Daah...selamat bersenang-senang!" kedua saudara kembar Rhein tertawa berderai lalu berlalu meninggalkan kami.

"Maafkan, kami selalu membuatmu terlihat begitu..." Rhein tidak melanjutkan kalimatnya. ia menatapku geli.

"Aku terlihat egitu bodoh, ya?" sahutku seraya tersenyum kecut.

***

Ini sudah tahun kesekian aku menjalin hubungan dengan Rhein. Sudah waktunya kami melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Aku berniat melamarnya dan menjadikan ia bidadari dalam kehidupanku.

Keinginan baik itu kusampaikan kepadanya. Dan alangkah terkejutnya aku saat mendengar Rhein mengajukan syarat.

"Raka, kau bisa menikahiku asal pada saat pernikahan nanti kau tidak salah memilih...."

"Apa maksudmu?"

"Kedua saudara kembarku akan mengenakan gaun pengantin yang sama denganku. Saat itulah kau harus memilih, yang mana aku, Rhein kekasihmu."

Aku terpaksa menerima syarat tersebut. Aku tahu Rhein tengah menguji cintaku. Karena seperti yang pernah disampaikannya padaku, bahwa kedua saudara kembarnya ternyata jatuh cinta pula  kepadaku. Dan mereka berlomba mendapatkanku dengan cara mereka sendiri.

Waktu pernikahan telah tiba. Aku mengenakan jas warna hitam dengan kemeja lengan panjang berwarna putih siap diarak menuju pelaminan. Langkahku terasa ringan memasuki tenda pengantin yang telah disediakan. Aroma wangi bunga melati merebak memenuhi ruangan menyambut kedatanganku.

Saat melewati pintu berundak menuju kursi pengantin, mataku terbelalak. Tiga kembar bernama Rheinkarnasi, mereka berdiri berjejer mengenakan gaun pengantin yang sama--- tersenyum menyambutku.

Dadaku berdegup kencang. Bagaimana jika aku salah memilih calon istriku?

Ketiganya maju perlahan, dan secara bergilir menyentuh punggung tanganku. Aku tersenyum saat salah satu dari mereka melakukan hal yang biasa dilakukan oleh Rhein. Tanpa ragu kupeluk ia, kucium keningnya dan kubimbing menuju pelaminan.

"Bagaimana kau tahu itu aku?" bisik Rhein begitu kami duduk berdampingan di kursi pengantin.

"Aku mengenalmu cukup lama, Rhein. Hal-hal kecil yang biasa kau lakukan tak luput dari perhatianku. Meski kedua saudara kembarmu mencoba menirunya sama persis denganmu, tapi aku bisa membedakannya."

"Katakan..."

Aku tertawa. Rhein memberengut kecil. Ia terlihat begitu penasaran.

"Please, katakan padaku...."

"Baiklah. Setiap kau menyentuh punggung tanganku, kau selalu memundurkan sedikit ujung jari tengahmu. Itu kebiasaan yang luput dari pantauan kedua saudara kembarmu."

Kulihat Rhein tersenyum. Senyum bahagia karena aku telah lulus ujian darinya.

***

Malang, 21 July 2017

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun