Mohon tunggu...
Elen Anggun Kusuma
Elen Anggun Kusuma Mohon Tunggu... lainnya -

Universitas Negeri Yogyakarta . fakultas Bahasa dan Seni . jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memorabilia

3 Juni 2013   00:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:37 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah memoar yang harus dikenang, untuk ‘yang paling hebat’ yang pernah ada.

Ku sisipkan mainan kanak-kanak, anak bebek dengan bibir merah mungilnya, tokoh kartun dengan segala imajinya, kemeja kumal dan beberapa batang tembakau lengkap dengan pemantiknya.

Siapapun kau, entah angin, hujan atau hanya sebuah kabar musim yang tak pasti, aku ingin kau menyampaikan pesanku pada Dia. Sebelumnya, aku akan sedikit bercerita tentang Dia.

Kemarin—ketika langit mendung dan gemiris pelan-pelan turun dari langit, Dia pamit pulang balik ke masa lalu. Aku mengangguk pelan, dan Dia pergi dengan tenangnya. Baru saja Dia melangkahkan kakinya, aku mengangis meronta-ronta menarik lengan bajunya dengan kencang, menahannya agar mengurungkan niatnya. Namun itu sia-sia. Dia malah lari kencang, tak menoleh kebelakang.

Semenjak kepergiannya, aku masih selalu tergagap mendengar gemerincing gantungan kunci besi berbunyi, terdengar oleh telingaku. Bunyi itu datang dibalik pintu kamarku. Gemerincingnya disusul dengan suara si kurus terbatuk-batuk. Terbatuk karena terlalu lama menunggu pagi dengan layar monitor dan dunia maya yang Ia puja-puja.

Aku masih suka terbangun ketika tidur, sering kudapati Dia hilang. Yang biasa kulihat dipagi hari dengan rambut ikal yang berantakan, lekukan lengan, leher yang menjulur, sambil kadang ada senyum dari bibir tipisnya. Masih ku ingat sekali ketika pagi datang, matanya masih susah untuk dibuka. Dia mengerjap-ngerjap seperti anak ayam yang baru menetas. Lalu tangannya bergayut di pundakku. Sesekali Dia menguap, mengecup keningku.

Bahkan kamar ini masih semerbak aroma kemeja kumal, bau rambunya, bau kelakarnya di ambang pintu dengan sisa putung-putung rokok masih mencoba berkumpul pada satu sisi asbak ukiran dari kayu. Tak jarang dengan sigap aku berdiri, menghambur keluar, seperti suara kedatangan Dia, ada suara langkah pelan dengan tulang lutut kecil yang jenjang, mengayunkan kaki menghitung peta-petak ubin menuju kamarku. Untuk kesekian kali, itu hanya bayangan.

Hanya desir angin. Lamat-lamat terdengar suara musik keras dari cafe seberang jalan. Bising kendaraan pun mampu menghapus kehadiran Dia. Jika pagi, suara alarm jam weker ku tak pernah bisa membangunkanku lagi. Karena aku sudah terbiasa terbangun melihat Dia tidur memunggungi ku. Aku bangun lalu ku raih pundaknya, ku dekap dengan sangat erat. Bahkan aku tak pernah memperdulikan waktu. Aku tak bisa mengenal pagi, siang bahkan malam. aku hanya bisa mengenal Dia lewat kebiasaannya membuatku tak pernah hidup sendiri lagi.

Aku sudah tak bisa menghitung kali berapa pertengkaranku dengannya, aku dan Dia selalu menjauh dan mencoba sibuk dengan rutinitas sendiri. Bahkan kadang kami saling melupakan. Yang bisa dilakukan hanya diam dan mengumpat lewat dunia yang berbeda. Dunia dimana bisa bebas teriak dan mencurahkan isi hati. Meluapkan segala emosinya karena aku yang tak bermoral, melakukan hal-hal buruk yang tak disukainya. Aku yang tak punya otak, kadang mempermainkan kata untuk membuatnya kebingungan.

Menangis adalah salah satu cara menenangkan diri untukku. Sambil berharapa Dia datang malam ini menjemputku dan mengajakku pergi. Semua kesalahanku akan aku pertanggungjawabkan pada situasi seperti ini. Sekarang aku bisa melihat Dia semakin jauh. Parahnya, Dia enggan untuk menemui ku lagi. Dia tak lagi merasa.

Miniatur, ikan dan semua benda di dalam kamar tertawa lebar, melihat tingkah pongahnya mencoba meningggakanku. Semua yang terbungkus menjadi sebuah kenangan—sebenarnya aku tak pernah memelurkan itu. Yang aku raba ingin utuh, yang aku hirup ingin terasa sampai ke raga, yang aku mau—Dia kembali mengisi satu ruang disini. Tak peduli dalam keadaan utuh atau teruai, aku ingin Dia menjadi kenangan yang tak pernah hilang. Aku ingin Dia ada.

Ada beberapa hal penting yang ingin aku sampaikan padanya. Bukan bait-bait puisi atau seikat bunga dengan bau semerbak, bukan sebuah lukisan indah seperti yang Dia idam-idamkan, bukan sepotong nada sebagai permintaan maaf, namun hanya ada satu yang bisa ku lakukan: menunggunya di balik jendela. Maaf jika aku terlalu detil mengingat semua kenangan tentang Dia.

Sampaikan kepadanya.

Tolong kembali.

Aku mencintainya.

Yogyakarta 23 Mei 2013

Elen Anggun Kusuma

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun