Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Petani - Serabutan

Ikuti kata hati. Itu saja...!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Taktik Maut Prabowo Subianto

23 Januari 2021   23:10 Diperbarui: 23 Januari 2021   23:10 2185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


KEPUTUSAN Prabowo Subianto bergabung dengan koalisi pemerintah paska Pilpres 2019 setidaknya diharapkan bisa memberikan harapan besar bagi bangsa dan negara. Kapasitas, pengalaman serta kemampuan mantan Danjen Kopasus itu dinilai bisa menutupi kekurangan Presiden Jokowi. 

Harapan lumrah. Mengingat pada saat kampanye pilpres, cukup banyak program kerja yang ditawarkan Prabowo Subianto. Pun, dengan Jokowi. Jika kedua dasar pemikiran ini disatukan, tentu akan membuat program pemerintah makin paripurna. 

Harapan Indonesia bisa lebih baik bertambah besar. Presiden Jokowi akhirnya merekrut Prabowo Subianto menjadi salah seorang pembantunya di Kabinet Indonesia Maju (KIM). Ketua Umum Partai Gerindra tersebut dipercaya menjadi Menteri Pertahanan (Menhan). Sebuah jabatan yang pantas, mengingat rekam jejak Prabowo yang sangat berpengalaman di dunia militer dan pertahanan negara. 

Seiring berjalan waktu, kedua mantan rival pada dua kali pilpres tersebut tampaknya bakal berjalan harmonis dan saling menguatkan satu sama lain. Dalam hal ini, Prabowo bakal all out membela setiap kebijakan apapun yang diterbitkan Presiden Jokowi. Sebaliknya, orang nomor satu di republik ini juga bakal memberi ruang dan panggung khusus pada sang mantan lawan guna menggapai hasratnya menjadi penguasa tanah air. 

Namun, dalam amatan kacamata politik sederhana saya, simbiosis mutualisma yang sedianya terjalin diantara Jokowi dengan Prabowo tidak berjalan baik. Maksudnya, hanya sang Menhan saja yang diuntungkan. Tapi, tidak dengan Jokowi. 

Mari kita sedikit flashback. Meski dalam dua kali pilpres, Prabowo Subianto selalu menyerang Jokowi habis-habisan, tak membuatnya dendam. Wong Solo ini masih mau menerima kehadiran Prabowo dan Partai Gerindra bergabung dengan pemerintahannya. Bahkan, diberi dua jatah kursi menteri. Menhan yang dipegang Prabowo dan Menteri KKP dipercayakan pada Edhy Prabowo. Belakangan, Edhy di-reshuffle karena terlibat kasus korupsi. Namun, jatah kursinya tak hilang. Sandiaga Uno masuk mengambil alih kursi tersebut, meski dengan pos menteri yang berbeda. 

Tidak hanya itu, Presiden Jokowi pun memberi tugas tambahan terhadap Prabowo sebagai penanggungjawab food state atau lumbung pangan nasional. banyak pihak percaya, semua itu sebagai langkah khususnya memberi panggung politik lebih terhadap Prabowo guna memuluskan niatnya maju Pilpres 2024. 

Dengan cara menangani lumbung pangan nasional, disinyalir kesempatan Prabowo menjalin komunikasi dengan masyarakat jadi lebih sering dibanding jabatannya sebagai Menhan. Ini penting, karena kunci kemenangan pilpres mutlak ada ditangan masyarakat sebagai calon pemilih. 

Tapi, apa yang didapat Presiden Jokowi? rasanya tidak banyak. Bahkan, mantan Gubernur DKI Jakarta ini lebih banyak berjibaku sendirian dalam menghadapi beberapa situasi nasional yang mengancam kondusifitas keamanan negara. 

Sebut saja pada saat terjadi aksi demo besar-besaran menolak Omnibus Law UU Ciptaker di beberapa daerah. Kemudian, keriuhan yang diakibatkan oleh Habib Rizieq dan Front Pembela Islam (FPI). Prabowo Subianto hanya bisa diam. Begitu pula, saat anak buahnya seperti Fadli Zon dan Habiburokhman kompak membela FPI dan menyentil pemerintah. Prabowo tak berkutik. Padahal, semestinya itu semua menjadi tugas Prabowo sebagai Menhan dalam menangani massa aksi serta keriuhan FPI dan kewajibannya pula sebagai ketua umum partai kala anak buahnya berulah. 

Timbul dugaan, Prabowo sedang tersandera oleh kepentingan politik dua kaki. Dia dinilai banyak pihak, sebenarnya tidak betul-betul patuh dan membela Presiden Jokowi. Ada satu kakinya yang masih dia jejakan di kubu oposisi. Khususnya kelompok islam yang pernah mendukungnya pada dua pilpres sebelumnya. Dengan kata lain, Prabowo kemaruk. Dia ingin mendapatkan suara dari kedua belah pihak. Tentu, maksudnya guna memuluskan syahwat politiknya menjadi orang nomor satu di tanah air. 

Direktur Eksekutif Lembaga Analisis Politik Indonesia (LAPI), Maksimus Ramses Lalongkoe juga menyampaikan pandangannya. Dia memaknai sikap diam Prabowo itu sebagai jurus atau taktik maut, guna memuluskan rencananya merebut dan merangkul. massa pendukung Presiden Jokowi. 

Dikutip dari Suara.com, Ramses membaca gelagat Prabowo sedang menunggu momentum waktu yang tepat untuk melakukan gebrakan. Dia enggan mengambil langkah gegabah sehingga akan dicap memanfaatkan kursi menteri demi kekuasaan. 

"Saya kira dia menunggu waktu yang tepat, sebab jangan sampai dia dinilai presiden menggunakan panggung menteri untuk tujuan pilpres," tuturnya, Rabu (20/1). 

Oleh karenanya, Prabowo terlihat dengan jelas sedang menjaga dengan baik posisinya saat ini. Ia lebih banyak diam untuk mempertahankan posisinya. 

"Prabowo Subianto sepertinya sedang menjaga betul kondisi ini dan menjaga basis dukungan Jokowi juga," pungkasnya. 

Boleh jadi apa yang disampaikan Ramses itu benar. Namun begitu, taktik ini saya rasa menimbulkan efek domino. Jika kurang hati-hati memainkannya akan berakibat fatal. 

Masyarakat  sekarang hidup di era serba digital. Segala akses informasi bisa dengan mudah didapat. Termasuk dengan perilaku politik Prabowo dan Partai Gerindra. 

Melihat sikap politik Prabowo dan Gerindra yang cenderung manca-mencle, publik justru bakal menilai bahwa mereka tidak punya prinsip. Jika stigma ini sudah tertanam kuat di masing-masing hati masyarakat, tentu taktik maut Prabowo merangkul basis Jokowi malah jadi blunder. Bukan mustahil, pada saatnya nanti Prabowo ditinggalkan massa oposisi dan tidak dilirik massa pendukung Jokowi. 

Untuk itu, saya rasa lebih baik Prabowo segera menentukan sikap politiknya. Jika memang maksudnya ingin merangkul massa Jokowi, mending perlihatkan langsung terhadap publik. Bahwa, Prabowo benar-benar siap jadi tameng Jokowi hingga masa jabatannya berakhir pada tahun 2024 mendatang. Toh, nanti massa pendukung Jokowi pun bakal melihat dan mencatat apa yang telah dilakukannya. 

Daripada diam. Publik justeru akan menjadi bingung. Dan, akhirnya malah mencari alternatif lain sebagai calon pemimpinnya. 

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun