BICARA tentang kesederhanaan penampilan Presiden Republik Indonesia, boleh jadi Joko Widodo (Jokowi) berada paling depan. Entah memang kesehariannya sederhana atau demi mendapatkan simpati masyarakat semata. Namun yang jelas Jokowi ingin mengirimkan pesan, bahwa kepemimpinannya semata-mata untuk rakyat.
Tak dimungkiri, awal-awal masa jabatan presiden di periode pertama, masyarakat percaya penuh bahwa mantan Walikota Solo itu akan bekerja sepenuhnya buat rakyat. Blusukan sana-sini demi mendapatkan informasi tentang keluhan masyarakat lalu mengimplementasikannya dalam bentuk program kerja. Sebut saja program Kartu Indinesia Sehat (KIS), Kartu Indinesia Pintar (KIP), pembangunan infrastruktur relatif merata antara Indonesia bagian barat, tengah dan timur.
Memang program kerja ini tak sepenuhnya berhasil. Masih banyak bolong di sana-sini. Tapi setidaknya, Jokowi sudah berusaha sebenar-benarnya bekerja untuk rakyat.
Interpensi politik?...hampir tak pernah mempan pada mantan Gubernur DKI Jakarta ini. Bahkan, seorang Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarno Putri yang ingin "memaksakan" Budi Gunawan menjadi Kapolri tak digubrisnya. Jokowi lebih memilih Tito Karnavian sebagai pembantunya di lembaga kepolisian. Padahal, sama-sama kita tahu, Megawati dan PDI Perjuangan mengklaim Jokowi sebagai petugas partainya.
Namun, kondisi itu sepertinya bakal sulit terwujud pada masa pemerintahan jilid II. "Kepungan" partai politik (parpol) yang mendukungnya yang sangat dominan menjadi alasan. Betapa tidak, pada masa kepemimpinannya yang kedua kali ini, ada sembilan parpol yang berada di lingkaran Jokowi. Yaitu, PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, PPP, Perindo, PSI, PKPI dan terakhir adalah Gerindra yang ikut bergabung belakangan pasca kekalahannya pada kontestasi Pilpres 2019 lalu.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan masa kepemimpinan Jokowi di periode pertama. Pada periode ini, Jokowi hanya didukung oleh PDIP, PKB, Nasdem, Hanura dan PKPI. Praktis hanya PDIP yang termasuk partai besar. Sementara empat lainnya boleh disebut partai medioker bahkan kecil.
Entah apa maksud Jokowi mengumpulkan hampir seluruh partai bersatu dalam gerbongnya. Ingin mempertahankan kekuasaan atau menghindari gesekan-gesekan seperti terjadi pada periode pertamanya, sehingga masyarakat hampir terbelah dua. Boleh jadi dua-duanya benar.
Tengok saja, Presiden kembali terpilih lagi menjadi presiden untuk kedua kalinya. Lagi-lagi yang dikalahkan yaitu rival yang dia kalahkan waktu Pilpres 2024, Prabowo Subianto. Sementara untuk alasan kedua pun relatif berhasi. Dengan diraihnya Prabowo dan Gerindra dalam gerbong Jokowi, perseteruan cebong (pendukung Jokowi) dengan kampret (pendukung Prabowo) lebih bisa terkendali.
Secara logika, dengan gemuknya parpol pendukung akan lebih memudahkan serta memuluskan segala kebijakan Presiden Jokowi dalam menjalankan roda pemerintahannya. Boleh jadi, segala program yang diharapkan Jokowi akan selalu di dukung. Namun, di sisi lain, pria kelahiran Surakarta ini lupa, bahwa parpol dan elite partai di dalamnya sarat dengan masing-masing kepentingan.
Jika, tidak bisa mengendalikan dan mengelolanya dengan baik akan berdampak buruk bagi Jokowi sendiri. Lambat laun akan terjadi keretakan dan berbelot. Sebaliknya, jika Jokowi terus mengabulkan kepentingan elite politik juga tidak baik. Dengan kata lain, Jokowi harus siap ditinggalkan rakyatnya karena "manut" pada kepentingan elite dan parpol. Sudah sama-sama kita mahfum, dalam otak para elite hanya ada kepentingan pribadi dan golongan. Rakyat hanya dijadikan komoditi buat kepentingan mereka.
Pertanyaannya, apakah Jokowi akan bekerja sungguh-sungguh demi rakyat dengan resiko dijauhi partai, atau sekedar mempertahankan kekuasaan dengan cara "manut" pada elite partai tapi dijauhi rakyat. Jawabannya, hanya Jokowi sendiri yang tahu.