QS. Ali Imran [3]: 104:
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar."
Dalam Tafsir al-Munir, Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa ayat ini adalah dasar kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bagi umat Islam untuk menjaga masyarakat dari kerusakan dan memilih pemimpin yang dapat menegakkan keadilan (Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Vol. 3, h. 86). Maka, memilih pemimpin bukan hanya hak, tetapi kewajiban kolektif demi amar ma'ruf nahi munkar. Golput, jika menyebabkan terpilihnya pemimpin yang zalim, justru bertentangan dengan prinsip ini.
Kaidah Fikih: Memilih yang Lebih Ringan Mudaratnya
Dalam al-Asybah wa al-Nazha'ir, Imam Jalaluddin as-Suyuthi menyebut kaidah:
"Idza ta'radat al-mafsid yuqaddam aqalluh dhararan"
(Jika dua keburukan bertemu, maka ambillah yang paling ringan bahayanya).
Artinya, jika semua calon tidak ideal, maka tetap ada kewajiban untuk memilih yang paling sedikit bahayanya. Ini dipertegas oleh Yusuf al-Qaradawi dalam bukunya Fiqh Daulah, bahwa:
"Tidak memilih karena semua calon dianggap buruk adalah kekeliruan besar, sebab dalam keadaan seperti itu wajib memilih yang lebih ringan bahayanya untuk mencegah yang lebih besar."
(Yusuf al-Qaradawi, Fiqh Daulah, h. 152)
Hak Pilih sebagai Amanah: Tafsir QS. Al-Ahzab [33]: 72
"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung... lalu manusia yang memikulnya..."
Menurut Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin ar-Razi, amanah dalam ayat ini mencakup seluruh tanggung jawab sosial dan keagamaan manusia, termasuk di dalamnya adalah tugas untuk menjaga ketertiban, keadilan, dan kekuasaan agar berada di tangan yang amanah (Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir, Vol. 25, h. 123). Golput dapat dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap amanah tersebut, jika tidak disertai alasan syar'i.