Mohon tunggu...
Ekri Pranata Ferdinand Baifeto
Ekri Pranata Ferdinand Baifeto Mohon Tunggu... Human Resources - Timor Tengah Selatan

Alumnus STKIP SoE angkatan 2014 jurusan Pendidikan Fisika dan saat ini sedang menempuh studi pascasarjana di Universitas Pendidikan Indonesia sejak tahun 2020. Menyukai banyak hal; sains, musik, sepak bola, seni, dan lain-lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rasisme, Sebuah Kekeliruan Manusia dalam Berempati

6 Juni 2020   02:02 Diperbarui: 6 Juni 2020   02:39 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rasisme - shutterstock.com

Beberapa waktu belakangan, kasus kematian George Floyd menggemparkan seluruh dunia. Hal ini bahkan memicu demo dan kericuhan besar di Amerika Serikat.

Kematian George Floyd di tangan seorang polisi kulit putih dilihat sebagai sebuah tindakan yang disengaja. Hal itu pun menimbulkan anggapan rasisme terhadap kaum kulit hitam sehingga pada akhirnya demo menuntut keadilan pun dilakukan secara besar-besaran kepada pemerintah.

Demo atas kejadian ini bahkan menimbulkan kerusuhan. Sejumlah fasilitas publik dirusak oleh massa, seperti tempat makan, super market, hingga kantor CNN pun turut dirusak. Gedung Putih sendiri bahkan dikabarkan sempat terlihat gelap dan sepi pada malam hari.

Dalam jangka waktu yang sama, ada fenomena lain yang terjadi berkaitan dengan wabah Covid-19. Di banyak negara, masyarakatnya mulai kambali beraktivitas dengan normal. Pemerintah mulai menerapkan strategi new normal.

Strategi new normal bukan berarti wabah Covid-19 telah selesai, tetapi ketiadaan obat maupun vaksin Covid-19 menyebabkan tidak ada cara lain untuk menghadapi virus ini selain "berdamai".

Berdamai dengan virus Corona artinya kita harus bisa menerima dan hidup berdampingan dengan virus ini. Manusia harus bisa beradaptasi dan menerima kehadiran virus Corona sebagai bagian dari hidup.

Jika kita bandingkan, kedua kasus di atas benar-benar bertolak belakang. Kita memperlakukan sesama manusia dengan makhluk lain [virus Corona] dengan cara yang berbeda dan berkebalikan.

Saat virus ini membunuh banyak orang, tidak banyak yang dapat dilakukan untuk menghentikannya. Kita dipaksa untuk menerima kondisi ini. Namun sebaliknya tindakan rasisme bahkan menelan korban jiwa terus-menerus terjadi dan dilakukan oleh manusia kepada sesamanya.

Memang benar bahwa kasusnya berbeda. Tetapi jika kita berpikir lebih jauh, bukankah perlakuan kita kepada sesama kita [rasis] itu tidak beradab? Sebaliknya kita lebih manusiawi terhadap makhluk lain yang bukan manusia. Sungguh sebuah ironi. Kita kehilangan rasa kemanusiaan.

Banyak kasus rasisme yang terjadi selain kasus George Floyd. Salah satu contohnya dapat kita temui di pertandingan olahraga sepak bola. Para pemain berkulit hitam sering diperlakukan seperti seekor monyet. Mulai dari ditunjukkan gestur yang mengolok-olok hingga ada yang benar-benat diteriaki monyet oleh suporter lawan.

Di Indonesia juga sering terjadi hal yang sama. Jika memori kita masih segar, kita akan mengingat peristiwa rasisme yang terjadi beberapa waktu lalu di Yogyakarta. Beberapa mahasiswa Papua yang sedang studi di sana mengalami rasisme yang sama dan berakhir dengan kerusuhan.

Beberapa kasus di atas hanya mengingatkan kita bahwa rasisme itu masih terus dilakukan dan berbahaya. Tindakan semacam ini sangat tidak pantas dan perlu dihentikan.

Di sisi lain kita juga melihat bahwa ternyata manusia terkadang keliru dalam berempati. Kita lebih memiliki rasa peduli kepada makhluk lain; hewan, tumbuhan, benda, dan lainnya yang bukan manusia.

Kekeliruan dalam berempati ini membuat kita tidak rasional dan cenderung salah bertindak dalam hal kemanusiaan. Contoh sederhana, kita terkadang lebih peduli pada seekor kucing jalanan yang kumal daripada sesama kita yang membutuhkan makanan, pakaian, dan tempat tinggal.

Hal yang sama juga berlaku saat kita memperlakukan sesama. Tidak jarang kita temui suatu kesalahan ditoleransi karena orang yang bersangkutan memiliki kesamaan ras, suku, atau agama. Sebaliknya orang benar bisa diperlakukan tidak adil karena berbeda dengan kita.

Kita perlu belajar untuk tidak melakukan rasisme. Tidak perlu melihat warna kulit, ras, maupun agama. Jauh di bawah permukaan kulit, kita memiliki warna darah yang sama. Kita juga memiliki status dan sebutan yang sama yaitu "manusia".

Indonesia sebagai negara yang beraneka ragam suku, bangsa, budaya, maupun agamanya. Karena itu kita perlu menolak rasisme. Kita cukup menerima semua perbedaan itu dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun