Oleh: Eko Windarto
Kalau seorang pelukis melukis dengan warna seperangkat alat-alat lukisan, maka seorang penyair bisa bernyanyi dengan kata-kata.
Kata-kata merupakan alat yang paling komunikatif bagi penyair untuk mencatat getaran-getaran pikiran dan gejolak perasaannya. Karena itu bagaimanapun seorang penyair harus menguasai tata bahasa secara baik sebab jika tidak, ia akan mengalami kesulitan menerjemahkan pengalamannya atau penghayatannya setepat mungkin melalui kata-kata untuk mencapai maksudnya yang sebenarnya.
Dari kenyataan di atas, dapatlah kita memperoleh gambaran betapa pentingnya bahasa bagi seorang penyair. Chairil Anwar, Amir Hamzah menulis kegelisahannya dan kesunyi-senyapnya dengan bahasa, dan dengan bahasa pula mereka menyanyikan kerinduan yang tak kunjung padam. Kiranya tak dapat dipungkiri, bahwa karya sastra yang besar lebih mengutamakan bahasa sebagai alat ekspresi bagi penyair. Bagaimana penyair mempergunakan alat itu tentu saja melalui studi dan latihan yang serius sebagaimana yang disarankan oleh penyair terkenal Rainer Maria Rilke kepada penyair Muda. Tanpa bahasa penyair tak bisa berbuat apa-apa.
Karya sastra yang besar lebih panjang umurnya dari pada penciptanya. Penyair Yunani Kuno Homeros, Odysseus, atau penyair seperti Jalaludin Rumi, Attar, Khalil Gibran, telah lama meninggal dunia tapi sampai kini masih dibaca orang. Demikian pula tentang Mahabarata dan Ramayana.
Semua penyair ingin menghasilkan karya yang besar. Tapi ternyata ciptaan yang besar harus ditunjang pengetahuan dan pengalaman yang besar pula. Sebuah judul karangan puisi atau puisi pusai yang digarap oleh beberapa penyair yang berbeda tingkat pengetahuan dan pengalamannya serta bacaannya tentu akan menghasilkan ciptaan yang berbeda-beda pula tingkatan nilainya. Dari yang kerdil sampai berbobot. Penyair yang banyak membaca buku-buku pengetahuan dan filsafat serta buku-buku yang mempunyai nilai sastra akan menghasilkan ciptaan yang isinya berbeda dengan penyair yang hanya mengandalkan bakat.
Berdasarkan kenyataan di atas, dapat dipastikan bahwa penyair atau pemusai adalah mereka yang jatuh cinta kepada bahasa. Bahasa merupakan nyanyian jiwa yang tak henti-hentinya mengetarkan kalbu mereka. Dengan bahasa, pemusai  menemukan tempat untuk mengekspresikan diri melalui pusai yang singkat, padat dan bergizi.
Sebagai pemusai, seharusnya memang menguasai menulis puisi bebas dalam artian menulis puisi seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Rendra, Tagore, Muhamad Iqbal, Aristoteles dll. Jika telah menguasai penulisan puisi bebas seperti itu, maka menulis pusai akan lebih mudah karena telah menguasai dasar-dasar menulis puisi. Kenapa saya katakan begitu, karena pusai itu sendiri adalah intisari dari puisi. Pusai adalah singkat, padat, dan mempunyai nilai futuristik. Oleh sebab itu, mari kita telusuri ketiga pusai di bawah ini.
FUTUR
Karya Sugiono
debur ombak
bentang layar
sayap camar
Sugiono Mpp, 040119