Mohon tunggu...
Eko Windarto
Eko Windarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Esainya pernah termuat di kawaca.com, idestra.com, mbludus.com, javasatu.com, pendidikannasional.id, educasion.co., kliktimes.com dll. Buku antologi Nyiur Melambai, Perjalanan. Pernah juara 1 Cipta Puisi di Singapura 2017, juara esai Kota Batu 2023

esai

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi dalam Pandangan Penyair

10 April 2024   21:37 Diperbarui: 10 April 2024   21:37 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Eko Windarto 

Demokrasi telah menjadi topik penting di seluruh dunia, dan banyak penyair telah menuliskan puisi tentang hal ini. Beberapa penyair menunjukkan pandangan positif tentang demokrasi, sementara yang lain memiliki pandangan yang kurang optimis. Namun, kesamaan di antara mereka adalah keinginan untuk mengeksplorasi ideologi ini melalui medium puisi mereka.

Sebagai contoh, Walt Whitman, seorang penyair Amerika, adalah pendukung setia demokrasi. Dalam puisinya yang terkenal berjudul "I Hear America Singing", ia menunjukkan keyakinannya bahwa setiap orang, termasuk para pekerja biasa, memiliki kontribusi penting dalam mewujudkan mimpi demokrasi. Puisinya mengekspresikan kegembiraannya dalam melihat masyarakat yang bebas dan merdeka, dan menyerukan para pembaca untuk bergabung dalam upayanya untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.

Di sisi lain, beberapa penyair menunjukkan pandangan yang kurang optimis tentang demokrasi. Sebagai contoh, T.S. Eliot "The Waste Land" adalah puisi yang kompleks dan multi-tafsir. Salah satu tema utama yang dapat ditemukan dalam "The Waste Land" adalah kemerosotan dan kekosongan sosial yang terjadi pasca Perang Dunia I. Eliot menggambarkan dunia yang hancur dan tanpa harapan, dengan kekosongan dan keruntuhan moral yang dihadapi oleh para individu dan masyarakat. Puisi ini juga digunakan untuk mengomentari masalah sosial dan politik pada masanya, seperti perpecahan sosial dan keruntuhan nilai-nilai tradisional.

Ada beberapa contoh dalam puisi yang mengekspresikan tema ini. Misalnya, dalam bagian pertama puisi, Eliot menggambarkan pemandangan "tanah mati" yang tidak subur, dengan pohon-pohon kering dan sungai yang mengering. Ini adalah metafora untuk kondisi sosial yang tidak produktif dan kosong. Kemudian, dalam bagian ketiga, puisi menggambarkan seorang pria yang kesepian dan terasing, menyerap alkohol sebagai cara melarikan diri dari realitas.

Selain itu, Eliot juga mengekspresikan pengaruh teknologi modern pada masyarakat pada saat itu. Dalam bagian kedua, dia menggambarkan kerumunan masa sebagai "bangsa tengkorak", hampir terbungkus oleh teknologi modern dan kehidupan kota yang sibuk. Kehancuran dan kekosongan dalam puisi ini juga dapat dianggap sebagai respons terhadap perang di mana banyak orang, bangsa, dan nilai-nilai yang dipegang jatuh dan terancam punah.


Dalam "The Waste Land" oleh TS Eliot menggambarkan kekosongan sosial, moral, dan spiritual pasca Perang Dunia I. Eliot mengkritik kondisi masyarakat yang hancur dan tanpa harapan, dan menggambarkan dampak teknologi modern pada individu dan masyarakat. Melalui puisinya, Eliot mengelompokkan masalah-masalah sosial dan politik dengan masalah-masalah pribadi dan eksistensial. Puisi ini menjadi salah satu karya sastra yang sangat penting dan relevan untuk membahas isu-isu sosial dan politik yang tidak kalah penting hingga saat ini.

Ini adalah beberapa contoh dari bagaimana penyair memahami dan mengeksplorasi konsep demokrasi melalui puisi mereka. Tapi bagaimana penyair dari budaya dan zaman yang berbeda memandang demokrasi? Berikut adalah lanjutan artikel tentang demokrasi dalam pandangan penyair dari berbagai budaya dan zaman.

Demokrasi di Eropa pada Abad Kebangkitan Nasionalisme

Pada abad ke-19, Eropa mengalami gerakan kebangkitan nasionalisme dan banyak penyair terkenal mulai menilai kembali konsep demokrasi. Sebagai contoh, penyair Italia, Giosue Carducci, menunjukkan pandangannya bahwa demokrasi telah memberikan kesempatan bagi rakyat biasa untuk memberikan kontribusi mereka dalam pembentukan masyarakat. Ia menulis bahwa demokrasi adalah bentuk ideal dari sosialisme, di mana rakyat memiliki kontrol atas tindakan pemerintah dan pembuat kebijakan. Ia memandang demokrasi sebagai jalan menuju kemajuan, kesejahteraan, dan keadilan sosial.

Di sisi lain, penyair lain seperti W.B. Yeats, mengkritik bentuk demokrasi seperti yang ada di Inggris dan Irlandia. Ia menilai bahwa demokrasi tidak mampu membantu manusia dalam mencapai tujuan utama mereka seperti kebahagiaan, kebenaran, dan kebahagiaan. Ia menunjukkan pandangannya dalam puisinya yang berjudul "The Second Coming", dimana ia menyatakan rasa kecewa dan keputusasaannya melihat orang-orang terpuruk dalam 'kegelapan' yang diciptakan oleh demokrasi yang korup dan tidak bermoral.

Puisi "The Second Coming ini dimulai dengan baris "Turning and turning in the widening gyre" yang menggambarkan situasi dunia pada waktu itu sebagai sebuah lingkaran yang terus berputar dan semakin melebar. Yeats menyebutkan bahwa "the falcon cannot hear the falconer" yang menggambarkan situasi di mana orang kehilangan kontrol atas situasi yang ada di sekitarnya.

Yeats juga menyebutkan tentang "mere anarchy" yang mengacu pada kekacauan dan kerusuhan yang merajalela setelah perang dan menyebabkan kekosongan moral di masyarakat. Dia menggambarkan bahwa "the center cannot hold" dan bahwa "things fall apart" yang menggambarkan kejelekan dan kehancuran di mana-mana.

Namun, Yeats mengakhiri puisinya dengan pengharapan akan kedatangan "A Second Coming" yang dapat menyelamatkan dunia dari kehancuran. Ia menggambarkan kepada pembacanya tentang kedatangan sosok baru yang muncul di tengah-tengah kekacauan dan membawa "a revelation" yang berarti sebuah pengungkapan atau pencerahan.

Dalam puisi ini, Yeats menggunakan bahasa metaforis untuk menggambarkan suasana pasca perang dan situasi yang sedang terjadi pada saat itu namun ia tetap memberikan keseimbangan pada akhir dengan memberikan harapan akan adanya kedatangan sosok baru yang dapat membawa perubahan dan keselamatan. 

Demokrasi di Indonesia

Bagaimana dengan pandangan penyair terhadap demokrasi dalam budaya Indonesia? Demokrasi adalah salah satu konsep penting dalam dunia politik dan masyarakat Indonesia saat ini. Para penyair Indonesia mencatat kelemahan dan kelebihan dari sistem demokratis di sini. Sebagai contoh, Danarto, seorang penyair Indonesia, menyoroti kelemahan demokrasi dalam puisinya dengan judul "Tahanan Atas Nama Demokrasi". Dalam puisinya, ia menunjukkan ketidaknyamanan, ketidakpuasan, dan kesedihan karena tidak memiliki kebebasan untuk mengeluarkan pendapat sesuai keinginan akibat adanya tekanan dari kekuasaan dan kepentingan melalui sistem demokrasi.

Puisi Danarto ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1988 dalam kumpulan puisinya yang berjudul "Langit Petang" mengisahkan tentang keadaan manusia yang hidup di tengah-tengah keterbatasan dan penindasan. Danarto menggambarkan bahwa manusia hidup dalam sebuah tahanan yang disebut 'demokrasi'. Tahanan ini membatasi kebebasan manusia dan menghambat perkembangan manusia sebagai makhluk sosial.

Dalam puisi ini, Danarto membahas berbagai topik seperti ketidakadilan, kekuasaan, dan pengorbanan. Dia menunjukkan betapa kuatnya pengaruh kekuasaan terhadap kehidupan manusia. Namun, pada saat yang sama, dia juga menunjukkan betapa pentingnya perjuangan untuk membebaskan diri dari penindasan dan untuk mencapai kebebasan.

Puisi ini terdiri dari beberapa bagian yang membentuk struktur yang kuat. Bagian pertama memperkenalkan konsep tahanan atas nama demokrasi dan bagaimana hal itu membatasi kebebasan manusia. Bagian kedua membahas tentang kekuasaan dan pengorbanan. Bagian ketiga menunjukkan betapa sulitnya membebaskan diri dari tahanan demokrasi dan bagaimana kematian merupakan salah satu jalan keluar dari tahanan tersebut.

Dalam puisi ini, Danarto menggunakan bahasa yang indah dan puitis. Dia memainkan kata-kata dengan indah untuk menggambarkan konsep-konsep yang kompleks dan penting. Russel Alfrediy dalam bukunya "Pengantar Sastra Indonesia Kontemporer" menyebut puisi ini sebagai "karya sastra paling luar biasa dalam sastra Indonesia".

Secara keseluruhan, "Tahanan Atas Nama Demokrasi" adalah sebuah karya puisi yang sangat kuat, dengan pesan yang mendalam dan sangat relevan dengan keadaan dunia saat ini. Puisi ini mempertanyakan konsep demokrasi yang kita anggap sebagai sebuah kebebasan, sementara sebenarnya masih banyak manusia yang hidup dalam tahanan atas nama demokrasi. Danarto mengajak kita untuk mengambil bagian dalam perjuangan untuk mencapai kebebasan sejati dan mengakhiri penindasan di mana pun kita berada.

Di sisi lain, Taufiq Ismail dalam puisinya yang berjudul "Ketika Semua Orang Menjadi Aktivis," ia mengkritik semangat berdemokrasi yang berlebihan dan hanya menjadi formalitas belaka. Ia menyatakan bahwa semangat untuk menjadi aktivis di masyarakat hanya dapat tercapai jika diimbangi dengan kejelasan tujuan dan niat yang baik. Puisi tersebut menggambarkan keterpurukan semangat kebebasan yang tiba-tiba berbalik menjadi rezim baru yang belum memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi warganya secara merata.

Puisi "Ketika Semua Orang Menjadi Aktivis" karya Taufik Ismail mengandung makna tentang keresahan mengenai situasi demokrasi dan sosial-politik di Indonesia pada masa orde baru. Puisi ini mencerminkan perjuangan dan semangat aktivis di Indonesia pada saat itu, yang tidak hanya mengharapkan perubahan, namun juga harus mempertaruhkan nyawa.

Puisi ini juga mencerminkan kegelisahan Taufik Ismail terhadap kondisi masyarakat pada saat itu, dimana banyak orang yang terlena dengan keadaan dan tidak berani untuk menyuarakan pendapat mereka karena takut akan resiko yang mungkin mengancam mereka.

Pada awal puisi, Taufik Ismail menggambarkan bahwa semua orang menjadi aktivis, namun mereka hanya berkumpul untuk sekedar minum kopi dan merokok, tidak ada aksi nyata yang dilakukan untuk membawa perubahan. Dalam hal ini, Taufik memperlihatkan bahwa semangat yang menggebu-gebu dan kemauan untuk berubah tidaklah cukup, tanpa adanya aksi nyata pada kenyataannya.

Namun, pada bagian akhir puisi, Taufik Ismail memunculkan harapan bahwa perjuangan tidak akan sia-sia dan semangat berjuang harus tetap dipertahankan, walaupun dalam situasi yang penuh dengan tekanan dan keterbatasan. Puisi ini dapat diartikan sebagai ajakan untuk tidak merasa terintimidasi oleh kekuasaan dan ketakutan, melainkan tetap mempertahankan semangat perjuangan dan menyuarakan pendapat dalam berdemokrasi.

Dalam konteks sekarang, puisi ini masih sangat relevan karena Indonesia masih mengalami banyak masalah sosial dan politik, seperti korupsi, intoleransi, kekerasan, dan lain-lain. Puisi ini dapat menjadi inspirasi bagi para aktivis dan masyarakat untuk terus bersikap kritis, mempertahankan semangat perjuangan dan memperjuangkan keadilan dalam kehidupan berdemokrasi dan bermasyarakat.

Dari karya-karya tersebut, dapat disimpulkan bahwa pandangan penyair Indonesia tentang demokrasi adalah kompleks dan turut mencerminkan kondisi masyarakat serta kondisi sosial-politik di Indonesia. Beberapa penyair menunjukkan kekecewaan dan keterpurukan semangat demokrasi, sementara yang lain memandang demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang lebih bermartabat daripada bentuk pemerintahan otoriter. Dalam banyak kasus, pandangan mereka tercermin dari kondisi masyarakat di mana mereka berada, di mana mereka mencoba untuk menyoroti kelemahan dan kelebihan yang ada dalam sistem demokrasi tersebut.

Demokrasi telah menjadi topik yang diperdebatkan pada seluruh dunia dan banyak pandangan yang berbeda dapat ditemukan dalam puisi-puisi penyair dari berbagai budaya dan zaman. Beberapa penyair menunjukkan pandangan positif tentang demokrasi sebagai bentuk kebebasan, sementara yang lain memiliki pandangan yang kurang optimis tentang kekurangan demokrasi. Namun, melalui puisi, mereka semua memanfaatkan kekuatan kata-kata untuk membawa perubahan dan refleksi yang lebih dalam tentang konsep demokrasi.

Batu, 9/3/2024

Biodata:

Eko Windarto.Penulis SATUPENA Jatim.Juara 1 Cipta Puisi Singapura 2017. Antologi puisi: Nyiur Melambai, dan Perjalanan. Menyabet juara cipta puisi di beberapa negara. Juara 1 Cipta Esai Kota Batu 2023, Juara Anugerah Jurnalis KOMINFO Kota Batuaru 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun