Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar hidup

Lahir di Negeri Cincin Api. Seorang kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayon Ashram Bangsa dan Alumni Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Motto : Terus Mlaku Tansah Lelaku.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mempertegas HAM di Masa Pembangunan (Resensi Buku Todung Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Kita)

30 Juni 2020   09:31 Diperbarui: 30 Juni 2020   09:37 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul           : Hak Asasi Manusia dan Kita    
Penulis       : Todung Mulya Lubis
Penerbit     : Sinar Harapan
Cetakan      : I, Jakarta 1982
Tebal           : 112 halaman
Peresensi   : Eko Nurwahyudin

Pembangunan dikatakan timpang dan menyimpang apabila hak asasi manusia digadaikan dan semangat proklamasi dikebiri.

Todung Mulya Lubis melalui bukunya Hak Asasi Manusia Dan Kita yang merupakan kumpulan tulisan tentang lima topik hak asasi manusia di tengah pembangunan, mengajak pembaca untuk berfikir tentang laju pembangunan rezim Orde Baru dan sejauh mana upaya penjaminan, perlindungan hak asasi manusia. Apakah keduanya dapat berjalan seiringan dan berkesusaian? Atau salah satunya justru menjadi penghambat bahkan penyebab yang lain macet?

Todung melihat bahwa pembangunan di sebagian besar dunia ketiga yang banyak digantungkan kepada mekanisme pasar dengan segala macam variasinya, ternyata tidak berpihak pada HAM lapisan termiskin (hlm. 16). Kepercayaan terhadap keberhasilan pasar ini belum lenyap. Lebih jelek dari itu para perencana pembangunan banyak yang menutup mata terhadap ketidakadilan penguasaan atas sumber-sumber ekonomi (means of production) yang pada dasarnya membuat mekanisme pasar itu sesungguhnya benar-benar tidak bekerja.

Dasar pemikiran yang menjadi acuan arah pembangunan rezim Orde Baru adalah teori lelehan kebawah (trickle down theory) yakni dimana pembangunan ekonomi digenjot lebih utama dibanding sektor lain seperti pembangunan politik, pembangunan kebudayaan, pembangunan pendidikan, pembangunan hukum. 

Dalam teori ini ada keoptimisan berlebih dan ketika diaplikasikan, terbenturlah problema tetek bengek (mental feodal yang masih tersisa). Keoptimisan yang berlebih pada akhirnya berubah jadi semacam igauan massal -- sebuah harapan yang teramat dan mimpi buruk untuk jangka waktu yang lama. Singkatnya, pembangunan ekonomi dulu baru kemudian pemerataan.

Kebijaksanaan negara yang menempatkan pembangunan ekonomi diatas pembangunan lainnya tercermin dalam Trilogi Pembangunan yang diucapkan Presiden Soeharto ketika mengajukan RAPBN 1977/1978 pada DPR-RI tanggal 6 Januari 1977. Trilogi itu menempatkan stabilitas di urutan pertama, lalu pembangunan ekonomi, dan terakhir pemerataan (hlm. 20). Urutan trilogi ini akhirnya dirubah pada pidato kenegaraan Presiden Soeharto tangal 16 Agustus 1978 dengan menekankan aspek pemerataan terlebih dahulu yang telah pula dijabarkan sebagai "delapan jalur pemerataan".

Lantas apakah dengan dasar pemikiran teori lelehan kebawah dan kebijaksanaan Trilogi Pembangunan mempengaruhi pemenuhan, penjaminan HAM?

Todung memaparkan menggunakan analisis theori trade-off John Rawls, seorang Profesor dari Universitas Harvard -- Hak Asasi Manusia dan Pembangunan sering kali sukar berjalan bersama. Untuk mencapai tujuan pembangunan, beberapa hak asasi manusia sering ditunda pemenuhannya, atau kalau mau memenuhi hak asasi manusia maka konsekuensi logis adalah terlambatnya laju pembangunan.

Pembahasan tak kalah menarik di buku ini adalah mengenai potret hukum kita yang mundur dan macet. Penulis tidak segan mengkritisi hukum warisan kolonial yang justru dihasilkan pemerintah Orde Baru -- haatzai artikelen, Undang-Undang Anti-Subversi, sejumlah peraturan perburuhan, Undang-Undang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang Partai Politik dan Keormasan, Undang-Undang Pemilihan Umum, dan Undang-Undang Pemerintahan Desa. 

Problem hukuman mati yang terus dibenarkan dalam hukum positif kita, tidak adanya lembaga pemeriksaan kembali (herziening) di peradilan kita merupakan dua contoh kemacetan hukum kita. Bahkan adanya lembaga-lembaga ekstrayudisial seperti Kopkamtib, Opstib, dan Opsgat memiliki banyak kekuasaan yang sering melewati kekuasaan Kejaksaan Agung dan Kepolisian (hlm .47). Walhasil, hak untuk mendapat peradilan yang adil dan tidak memihak, hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang terlanggar.

Terlepas dari kekurangan seperti banyaknya pengulangan pembahasan di setiap bab, pembahasan yang mengawang-awang dikarenakan tidak adanya data dan sebatas dikira-kira seperti pembahasan kepemilikan tanah (hlm. 26), buku ini direkomendasikan menjadi salah satu rujukan bagi siapapun yang tengah belajar HAM. Di setiap akhir tiap bab buku ini tidak ada tawaran solusi kongkrit tetapi, mengulang pertanyaan yang sama perihal keberpihakan dengan maksud membuka dialog bersama sebagai upaya pencarian solusi.

Yogyakarta, 23 November 2018

Pernah dimuat oleh Omah Aksoro pada 26 Februari 2019

(ditayangkan ulang karena jejak digital hilang, diakibatkan problem pada situs web Omah Aksoro)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun