Di ruang digital, harapan publik itu sederhana yaitu layanan jalan, cepat, dan stabil. Namun di balik layar, sistem apa pun baik di kampus, swasta, maupun level nasional berdiri di atas rangkaian komponen yang saling bergantung yaitu pada aplikasi, jaringan, database, integrasi pihak ketiga, hingga kebiasaan pengguna. Satu saja tersendat, pengalaman di layar berubah jadi satu kata yang kita semua benci yaitu error.
Saya sering ditanya, "Sistem kita sudah ISO. Kenapa masih bisa kena juga?" Jawaban singkatnya ISO (terutama 27001 karena punyanya ya itu) menjamin sistem manajemen keamanan, proses, kontrol, dan perbaikan berkelanjutan tapi bukan jaminan nihil insiden. Dunia nyata itu selalu bergerak dan selalu muncul celah baru, update plugin yang tak kompatibel, konfigurasi server yang luput, atau beban trafik musiman yang meledak. Jika manajemennya kuat, insiden memang bisa terjadi tetapi dampaknya terbatas, pemulihannya cepat, dan yang terpenting tidak terulang di tempat yang sama.
Tujuan kita bukan nol insiden, tapi nol insiden yang sama berulang.
Kalimat ini menempatkan kita di jalur perbaikan yang realistis dan terukur. Ada tiga pilar yang menurut saya krusial: arsitektur, proses, dan budaya.
Pertama yaitu Arsitektur yang Siap Skala, Siap Gagal
Banyak layanan publik (dan internal kampus/organisasi) dibangun berlapis seperti portal, API, basis data, integrasi pembayaran, autentikasi nasional, dan seterusnya. Kompleksitas itu normal, yang tidak normal adalah mengandalkan keajaiban setiap kali puncak trafik tiba. Arsitektur modern perlu:
- Â Â Observability end-to-end: metrik, log terpusat, tracing antarlayanan. Tanpa ini, kita sering memadamkan api di titik yang salah.
- Â Â Desain degradasi (graceful degradation) dan circuit breaker: saat satu fitur tumbang, layanan inti tetap hidup.
- Â Â Rollout terkendali: feature flag, canary release, atau blue-green deployment supaya bug tidak langsung menular ke semua pengguna.
- Â Â Rate limit & WAF: menahan spike trafik maupun pola serangan umum sebelum merobohkan aplikasi.
Arsitektur yang baik bukan sekadar jalan saat demo, melainkan tertata saat realita menekan.
Kedua yaitu Proses Dari Jagoan Tunggal ke Tim dengan Ritme
Pengalaman saya, kegagalan kerap terjadi bukan karena kita tidak punya orang pintar, tetapi karena kita bergantung pada segelintir pahlawan. Saat orang itu pindah peran atau sedang tidak on-call, ritme terputus. Kita perlu memindahkan kebergantungan personal ke proses tim:
- On-call bergilir + runbook: siapa menangani apa, jam berapa, jalur eskalasi ke mana.
- RACI jelas berupa Incident Commander, triage/forensik, comms internal-eksternal.
- SLA patch/vuln berupa kritikal 72 jam (atau lebih cepat sesuai konteks), tinggi 7 hari.
- Uji beban & simulasi insiden rutin: bukan karena kita pesimis, tapi karena kita ingin siap.
- Backup 3-2-1 + uji restore: bukan hanya backup sukses, tapi restore benar-benar bisa jalan.
Di titik ini, indikator seperti MTTD (Mean Time To Detect) dan MTTR (Mean Time To Recover) jadi lebih penting daripada sekadar berapa banyak tiket ditutup. Kita ingin mendeteksi lebih cepat dan pulih lebih cepat bukan cuma menumpuk piala closed ticket.
Ketiga Budaya Transparan, Tanggung Jawab, Tanpa Menyalahkan
Saya percaya pada transparansi proporsional tidak semua detail teknis harus diumbar, tetapi pengguna berhak mengetahui apa yang terjadi, apa yang sedang dikerjakan, dan apa yang harus mereka lakukan sementara. Tanggapan sedang ditangani tanpa detail langkah mitigasi hanya menambah frustrasi.
Di internal, biasakan post-mortem tanpa menyalahkan individu. Tujuannya adalah menambal proses, bukan mencari kambing hitam. Insiden terulang biasanya bukan karena orang bodoh, melainkan karena sistem yang mendukung kesalahan itu tetap hidup.
Kenapa Masih Ada yang Diretas?
Di banyak institusi, unggah dokumen/gambar sering menjadi pintu belakang. File gambar yang disisipi kode, konfigurasi web server yang mengizinkan eksekusi di folder uploads, atau kredensial lama yang tidak diputar. Solusinya bukan sekadar 'rajin mantau', melainkan mematangkan kontrol:
- Nonaktifkan eksekusi PHP di direktori uploads, aktifkan allowlist ip/panel admin, dan rate limiting.
- Audit kredensial & rotasi berkala pisahkan secret ke vault.
- Terapkan dependency scanning & code review yang mengikat ke proses rilis.
- Di NFS atau storage bersama, pastikan permission dan mount options aman (noexec jika relevan), dan logging I/O penting terekam.
Dengan begitu, saat ada laporan komplain, kita bisa menjawab dengan tenang: standar diterapkan, insiden mungkin terjadi, tapi ada prosedur deteksi, penanganan, dan pencegahan agar tidak berulang.
Apa yang Perlu Pengguna Tahu?
Komunikasi yang baik mengubah amarah menjadi kerja sama. Sederhanakan jalur pelaporan form insiden dengan tiga hal yaitu  waktu kejadian, tangkapan layar/log, dan alamat halaman agar tim bisa korelasi lebih cepat. Sampaikan ETA pembaruan informasi secara jelas, meski pendek seperti "Kami akan update pukul 14.00 WIB".
Pada akhirnya, modernisasi digital bukan tentang janji  tak akan pernah error, melainkan kapasitas belajar deteksi lebih cepat, pulih lebih cepat, dan jangan ulangi luka yang sama. Di sinilah organisasi tumbuh. Dari bergantung pada satu orang menjadi tim yang andal dengan proses yang kuat dan dari budaya reaktif menjadi budaya continuous improvement.
Penutup
Tujuan kita bukan nol insiden, melainkan nol insiden yang sama berulang. Karena di dunia nyata, ketahanan bukan soal tak pernah jatuh, melainkan kemampuan berdiri kembali lebih cepat, lebih pintar, dan lebih siap.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI