Mohon tunggu...
Eko Halim Santoso
Eko Halim Santoso Mohon Tunggu... Plt Direktur Yayasan Peguruan 17 Agustus 1945 Surabaya

Saya adalah seorang profesional di bidang teknologi informasi yang telah berpengalaman lebih dari 10 tahun dalam pengembangan sistem, manajemen proyek digital, dan inovasi teknologi untuk institusi pendidikan dan dunia industri. Saat ini saya menjabat sebagai Direktur di Universal Informasi Teknologi serta plt Direktur di Yayasan Perguruan Tinggi 17 Agustus 1945 Surabaya (YPTA 1945). Di luar aktivitas profesional, saya aktif menulis tentang transformasi digital, kepemimpinan teknologi, pengembangan sumber daya manusia, dan isu-isu strategis dalam dunia pendidikan. Saya percaya bahwa berbagi pengetahuan adalah salah satu bentuk kontribusi nyata untuk membangun ekosistem digital yang lebih baik di Indonesia. Melalui Kompasiana, saya berharap bisa berbagi sudut pandang, pengalaman, dan gagasan-gagasan yang mampu memberikan nilai tambah bagi pembaca, serta membuka ruang diskusi yang sehat dan membangun.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Modernisasi Digital Bukan Mantra Sakti. Bukan Nol Insiden , Melainkan Nol Insiden Berulang

10 Oktober 2025   10:10 Diperbarui: 10 Oktober 2025   10:10 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Di ruang digital, harapan publik itu sederhana yaitu layanan jalan, cepat, dan stabil. Namun di balik layar, sistem apa pun baik di kampus, swasta, maupun level nasional berdiri di atas rangkaian komponen yang saling bergantung yaitu pada aplikasi, jaringan, database, integrasi pihak ketiga, hingga kebiasaan pengguna. Satu saja tersendat, pengalaman di layar berubah jadi satu kata yang kita semua benci yaitu error.

Saya sering ditanya, "Sistem kita sudah ISO. Kenapa masih bisa kena juga?" Jawaban singkatnya ISO (terutama 27001 karena punyanya ya itu) menjamin sistem manajemen keamanan, proses, kontrol, dan perbaikan berkelanjutan tapi bukan jaminan nihil insiden. Dunia nyata itu selalu bergerak dan selalu muncul celah baru, update plugin yang tak kompatibel, konfigurasi server yang luput, atau beban trafik musiman yang meledak. Jika manajemennya kuat, insiden memang bisa terjadi tetapi dampaknya terbatas, pemulihannya cepat, dan yang terpenting tidak terulang di tempat yang sama.

Tujuan kita bukan nol insiden, tapi nol insiden yang sama berulang.

Kalimat ini menempatkan kita di jalur perbaikan yang realistis dan terukur. Ada tiga pilar yang menurut saya krusial: arsitektur, proses, dan budaya.


Pertama yaitu Arsitektur yang Siap Skala, Siap Gagal

Banyak layanan publik (dan internal kampus/organisasi) dibangun berlapis seperti portal, API, basis data, integrasi pembayaran, autentikasi nasional, dan seterusnya. Kompleksitas itu normal, yang tidak normal adalah mengandalkan keajaiban setiap kali puncak trafik tiba. Arsitektur modern perlu:

  •     Observability end-to-end: metrik, log terpusat, tracing antarlayanan. Tanpa ini, kita sering memadamkan api di titik yang salah.
  •     Desain degradasi (graceful degradation) dan circuit breaker: saat satu fitur tumbang, layanan inti tetap hidup.
  •     Rollout terkendali: feature flag, canary release, atau blue-green deployment supaya bug tidak langsung menular ke semua pengguna.
  •     Rate limit & WAF: menahan spike trafik maupun pola serangan umum sebelum merobohkan aplikasi.

Arsitektur yang baik bukan sekadar jalan saat demo, melainkan tertata saat realita menekan.

Kedua yaitu Proses Dari Jagoan Tunggal ke Tim dengan Ritme

Pengalaman saya, kegagalan kerap terjadi bukan karena kita tidak punya orang pintar, tetapi karena kita bergantung pada segelintir pahlawan. Saat orang itu pindah peran atau sedang tidak on-call, ritme terputus. Kita perlu memindahkan kebergantungan personal ke proses tim:

  • On-call bergilir + runbook: siapa menangani apa, jam berapa, jalur eskalasi ke mana.
  • RACI jelas berupa Incident Commander, triage/forensik, comms internal-eksternal.
  • SLA patch/vuln berupa kritikal 72 jam (atau lebih cepat sesuai konteks), tinggi 7 hari.
  • Uji beban & simulasi insiden rutin: bukan karena kita pesimis, tapi karena kita ingin siap.
  • Backup 3-2-1 + uji restore: bukan hanya backup sukses, tapi restore benar-benar bisa jalan.

Di titik ini, indikator seperti MTTD (Mean Time To Detect) dan MTTR (Mean Time To Recover) jadi lebih penting daripada sekadar berapa banyak tiket ditutup. Kita ingin mendeteksi lebih cepat dan pulih lebih cepat bukan cuma menumpuk piala closed ticket.

Ketiga Budaya Transparan, Tanggung Jawab, Tanpa Menyalahkan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun