Mohon tunggu...
E Fidiyanto
E Fidiyanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan Muda

Menulis dengan Hasrat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Zubaidah, Anak Si Juragan Edan

10 Desember 2018   21:17 Diperbarui: 10 Desember 2018   21:24 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi ini ratusan kapal nelayan teronggok lesu di pelabuhan kampung nelayan Pantura. Kawasan pelabuhan tampak lengang tanpa kesibukan seperti pagi biasanya yang dipadati orang yang ngalor-ngidul. Teriakan tengkulak tak terdengar lagi. 

Anak karlak tak menampakkan batang hidungnya. Hanya nampak beberapa orang yang ngopi di bangunan bekas kongsi, tempat transaksi jual-beli ikan antara pemilik kapal dan para tengkulak berkalung rantai emas. Mereka tertunduk lesu dengan obrolan keluh kesah tak bisa melaut lantaran terbentur aturan sang menteri penguasa lautan.

Sambil memandangi kapal-kapal raksasa, seolah mereka mengenangkan pekerjaannya yang kini terpenjara aturan. Mereka tak bisa berbuat apa. Wajar saja, seorang nelayan yang kebanyakan hanya tamatan Sekolah Dasar, bahkan buta aksara ketika dibenturkan segala aturan dan tetek bengeknya, mereka buta hukum. Mengeja tulisan di nota saja mereka tak bisa. Kadang dibodohi, apalagi berhadapan dengan hukum.

Sungguh nelangsa nasibnya kini. Para pemangku kebijakan, sama sekali tak ada yang memberinya sekedar motivasi. Mereka seolah terpisah bahkan ditinggal mati induknya. Sunyi. Tak ada lagi keramaian di pinggir kali yang biasanya kampung ini tak pernah mati.

Semenjak dilarangnya alat tangkap cantrang oleh penguasa lautan, hidupnya selalu dirundung kekhawatiran. Tak berkesudahan. Nasib hidupnya bagai di ujung tanduk kesengsaraan. 

Dan benar saja, hampir sepuluh ribu nelayan di kampung nelayan Desa Kluwut nganggur. Hampir tiga bulan pula tak ada yang berani melaut. Mereka beralih profesi jadi penjual siomay, lampu hias, mainan anak-anak dan pekerjaan lain yang jauh dari kata sejahtera. Sering terdengar tangis anak-anak pun sudah biasa. Mereka merengek minta jajan. Ada pula yang tak diberi uang saku sekolah. Dan benar saja, roda perekonomian di kampung ini mati suri. Entah sampai kapan hidup kembali.

"Anakku nggak mau sekolah. Nggak ada uang saku. Isteri sering ngamuk karena aku terus minta kopi dan rokok," kata Raswin, seorang nelayan yang kini nganggur dan saban hari klendang klaweran di pinggiran kali. Berharap segera melaut lagi.

"Belum lagi bayar kreditan motor. Sering debt colektor datang ke rumah tapi aku tinggal kabur ke sini. Pernah aku maki-maki, lah ya mestinya tahu, wong lagi nganggur begini. Kan kurangajar," timpal seseorang sambil menyulut rokok keretek. Asap putih menyembul dari mulutnya yang bau putus asa.

"Namanya bank ya pasti begitu. Nggak mau tahu, yang mereka tahu setoran lancar. Kalau telat di kejar-kejar, setoran lancar juga dikejar. Mereka menawarkan untuk kredit lagi. Kan sinting." kata seorang di sampingnya yang tengah mengunyah pasrah.

Aku hampiri mereka yang tengah ngobrol ngalor-ngidul soal putus asa. Aku sedikit paham obrolan mereka karena aku dilahirkan oleh rahim yang disembur sperma dari seorang nelayan. 

Nelayan seolah menjadi pekerjaan yang akan dibawa mati bagi sebagian besar nelayan yang tanpa lulus SD. Dulu, bagi mereka, ijazah hanya bungkus nasi. Sekali melaut berangkat pagi pulang sore mereka sudah mengantongi sepuluh ribu rupiah, itu di era orde baru. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun