Dalam dunia yang semakin bergejolak, diplomasi tanpa empati akan kehilangan makna. Politik luar negeri yang hanya berorientasi pada kepentingan akan rapuh menghadapi krisis kemanusiaan global. Karena itu, saat kita berbicara tentang kepemimpinan Indonesia di panggung dunia, pertanyaannya bukan sekadar seberapa kuat kita bernegosiasi, tetapi seberapa dalam kita mampu merasakan penderitaan manusia lain. Di titik itulah, wajah feminin diplomasi menemukan relevansinya kembali---sebagai kekuatan moral yang menuntun arah, bukan sekadar strategi yang mengamankan posisi.
Jika diplomasi adalah cermin dari wajah bangsa, maka sudah saatnya Indonesia kembali menunjukkan wajah yang lembut tapi tegas, empatik namun berprinsip. Wajah yang feminis bukan karena jenis kelamin pemimpinnya, tetapi karena keberpihakannya pada kemanusiaan. Sebab di dunia yang makin keras dan penuh pertentangan, kekuatan sejati bukanlah siapa yang paling kuat, tetapi siapa yang paling peduli.
Eko Ernada, pengajar dan peneliti Pusat Kajian Gender dan Hubungan Internasional, Universitas Jember.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI