Dalam satu tahun terakhir, arah politik luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Prabowo mulai menunjukkan pergeseran yang menarik sekaligus mengkhawatirkan. Di tengah situasi global yang penuh konflik, diplomasi Indonesia tampak lebih berorientasi pada keamanan dan stabilitas, bukan lagi pada nilai-nilai empati dan kemanusiaan yang dulu menjadi ciri khasnya. Seolah wajah feminin diplomasi---yang pernah tercermin dalam kepekaan, empati, dan kepemimpinan moral---perlahan menghilang di balik retorika strategis dan pragmatisme kekuasaan.
Barangkali inilah paradoks terbesar politik luar negeri kita hari ini: di saat Indonesia pernah memiliki seorang perempuan sebagai Menteri Luar Negeri, namun wajah diplomasi yang feminis justru semakin pudar. Feminist Foreign Policy (FFP), atau politik luar negeri feminis, bukan semata tentang keterlibatan perempuan dalam diplomasi, tetapi tentang bagaimana nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan, dan perdamaian dijadikan lensa utama dalam setiap keputusan luar negeri. Retorika kesetaraan memang sering hadir dalam pidato-pidato resmi, tetapi tidak tampak dalam keputusan strategis yang diambil.
Padahal, secara historis Indonesia memiliki modal moral yang besar dalam diplomasi kemanusiaan. Politik luar negeri "bebas aktif" yang dirumuskan sejak awal kemerdekaan bukan sekadar doktrin kedaulatan, tetapi juga pernyataan moral tentang keberpihakan pada perdamaian dan keadilan global. Namun dalam praktik setahun terakhir, orientasi itu cenderung berubah menjadi kalkulasi kepentingan. Indonesia tampil aktif dalam berbagai forum internasional, tetapi sering kali dengan nada diplomatik yang kering dari empati.
Dalam isu Gaza, misalnya, Presiden Prabowo menunjukkan langkah simpatik dan agresif dengan rencana membawa dua ribu anak korban perang ke Indonesia untuk direhabilitasi. Langkah itu patut diapresiasi karena menunjukkan empati yang jarang terlihat di antara para pemimpin global. Namun, kebijakan tersebut tetap bersifat insidental ketimbang paradigmatik. Ia lebih merupakan respon kemanusiaan sesaat daripada pergeseran nilai dalam politik luar negeri. Diplomasi kemanusiaan belum menjadi orientasi utama kebijakan luar negeri Indonesia, melainkan sekadar pelengkap dari strategi pertahanan dan hubungan dagang.
Fenomena ini memperlihatkan betapa diplomasi kita tengah mengalami maskulinisasi. Wajah diplomasi maskulin biasanya ditandai oleh kecenderungan melihat hubungan internasional sebagai arena kompetisi kekuasaan---siapa lebih kuat, siapa lebih berpengaruh, siapa lebih cepat mengamankan kepentingan nasional. Sementara wajah feminin diplomasi memandang dunia sebagai ruang kolaborasi dan perawatan: bagaimana menjaga perdamaian, membangun rasa saling percaya, dan memastikan suara kelompok rentan didengar. Dua wajah ini tidak harus bertentangan. Justru keseimbangan keduanya menentukan kematangan politik luar negeri suatu negara.
Namun dalam praktik, Indonesia kini tampak lebih banyak mengadopsi nalar maskulin. Ketika bicara tentang "kepemimpinan global", yang dimaksud sering kali adalah pengaruh strategis, bukan keteladanan moral. Dalam pertemuan G20 atau ASEAN, diplomasi kita tampil tegas dalam isu ekonomi dan keamanan, tetapi relatif diam dalam isu-isu keadilan gender, pengungsi, dan hak-hak sipil. Diplomasi kita menjadi semakin canggih secara prosedural, tetapi kehilangan sentuhan moral yang dulu membuatnya berbeda.
Dalam hal ini, kritik feminis terhadap realisme klasik menjadi relevan. Selama puluhan tahun, teori hubungan internasional dibangun atas asumsi dunia yang anarkis, di mana negara harus selalu mengejar keamanan melalui kekuasaan. FFP hadir sebagai koreksi terhadap logika ini: bahwa keamanan sejati tidak datang dari senjata, tetapi dari keadilan sosial dan kesejahteraan warga yang paling rentan. Paradigma ini mengajarkan bahwa diplomasi bukan sekadar tentang siapa yang menang dalam negosiasi, melainkan siapa yang paling mampu merawat kehidupan.
Kontras dengan kecenderungan realis tersebut, sejumlah negara seperti Swedia, Kanada, dan Meksiko telah lebih dulu mengadopsi prinsip Feminist Foreign Policy. Prinsip ini menempatkan empati, kesetaraan, dan hak asasi manusia sebagai fondasi kebijakan luar negeri, bukan sekadar pelengkap. Mereka percaya bahwa keamanan sejati hanya dapat dicapai bila keadilan sosial dan kesetaraan gender terjamin. Dalam konteks ini, Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun model politik luar negeri feminis yang khas---yang berpijak pada nilai-nilai Pancasila, solidaritas Asia-Afrika, dan semangat kemanusiaan universal.
Namun peluang itu hanya bisa diwujudkan jika pemerintah berani merevitalisasi kembali semangat moral dalam diplomasi. Politik luar negeri tidak cukup diukur dari jumlah pertemuan internasional atau keberhasilan negosiasi dagang. Ia harus diukur dari sejauh mana kebijakan luar negeri kita mampu memperjuangkan kemanusiaan: apakah kita masih berpihak pada korban perang, pada perempuan yang terpinggirkan, pada masyarakat yang kehilangan tanah dan masa depannya akibat konflik.
Diplomasi feminis tidak berarti diplomasi yang sentimental atau lembek, tetapi diplomasi yang berani bersuara untuk mereka yang tak terdengar. Ia menuntut keberanian moral untuk tidak netral dalam situasi ketidakadilan. Dalam sejarahnya, Indonesia justru pernah dikenal karena keberanian moral semacam itu---dari Konferensi Asia-Afrika di Bandung hingga peran aktif dalam isu Palestina. Kini, semangat itu perlu dihidupkan kembali agar diplomasi kita tidak sekadar menjadi alat kekuasaan, tetapi juga cermin nurani bangsa.