Mohon tunggu...
Eko Daryono
Eko Daryono Mohon Tunggu... Guru - Blogger

Hidup adalah pilihan, maka pilihlah yang terbaik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dinasti Politik: Sebenarnya Salah Siapa?

28 Juli 2020   12:04 Diperbarui: 28 Juli 2020   12:14 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dinasti politik bisa jadi merupakan istilah yang sering terdengar jelang pelaksanaan Pilkada. Tak heran jika selama ini masyarakat adem ayem dengan fenomena ini. Mungkin karena saking banyaknya kontestasi yg melibatkan dinasti dinasti politik. 

Catat saja dinasti politik yang ada di Banten, Bangkalan, Kutai Kartanegara dan masih banyak lagi yang lainnya. Tak luput juga Amerika Serikat sebagai negara demokrasi juga mengalami hal yang sama, seperti dinasti Kennedy dan Bush.

Dinasti-dinasti politik tersebut memang menjadi sempat menjadi sorotan dan perbincangan hangat. Namun semenjak Gibran dalam kontestasi Pilkada 2020, sorotan tajam kembali diarahkan pada dinasti politik. Lantas, mengapa dinasti politik di Indonesia terus terulang di tiap perhelatan Pilkada?

Berbicara masalah dinasti politik bukanlah barang baru khususnya di negara yang menganut sistem monarkhi. Meski kepemimpinan di negara tersebut turun temurun, namun tidak ada gugatan atau pihak yang mempermasalahkan. Toh kepemimpinan para keturunan itu berjalan baik. Estafet kepemimpinan pun dilaksanakan dengan mulus.

Para pemegang tampuk kepemimpinan pun mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Kim Jong-Un, mampu memimpin Korea Utara selepas mendiang Kim Jong-Il. Jigme Khesar Namgyel Wangchuck (raja Bhutan) juga mampu memimpin negaranya dengan baik. Para pemimpin tersebut saat berstatus sebagai putra mahkota sudah dipersiapkan dengan baik.

Lantas, dalam sistem demokrasi, salahkah bila terjadi fenomena dinasti politik? Seperti halnya sistem monarkhi, sebenarnya tidak ada yang salah mengenai dinasti politik di negara demokrasi. Asalkan "sang penerus" memiliki  kapasitas yang mumpuni sebagai pemimpin. Belum ada peraturan perundang-undangan yang melarang bahwa seorang Kepala Daerah tidak boleh menjagokan keluarganya untuk maju dalam kontestasi Pilkada.

Selama ini, dinasti politik baru sebatas disorot secara etika politik yang sebagian pihak memandang "kurang elok". Memang kenyataannya, munculnya dinasti politik tersebut justru menyuburkan praktik KKN dan bahkan gurita politik keluarga seperti yang pernah terjadi di Banten, Kutai Kartanegara dan Bangkalan (Madura).

Lantas apa yang menjadi penyebab munculnya dinasti politik dari waktu ke waktu? Penyebab pertama adalah partai politik. Terjadinya dinasti politik, bisa menggambarkan kurang berhasilnya proses kaderisasi di tingkat partai. Partai kurang mampu mengorbitkan kadernya sehingga kurang memiliki daya jual tinggi menjelang Pilkada. Kondisi ini terkadang mendesak partai untuk mengambil dinasti dengan alasan lebih populis.

Kedua, orientasi partai yang ingin ingin meraih kemenangah atas calon yang diajukan. Pada kenyataannya, banyak calon yang berkualitas justru kalah dengan yang calon yang populis. Tujuan partai memilih dan mengusung calon tentu saja untuk meraih kemenangan. Tujuannya satu yakni memenangkan kontestasi politik. Apabila tercapai maka partai akan lebih leluasa dalam mewujudkan cita cita dan tujuan partai.

Ketiga, proses pendidikan politik yang kurang berhasil dilaksanakan oleh pemerintah maupun parta politik. Selama ini edukasi politik sering dilaksanakan namun bukan mengarah pada persoalan pilih memilih pemimpin. 

Edukasi yang dilakukan pemerintah fokus pada bagaimana menggunakan hak pilih sedangkan partai politik cenderung untuk mempengaruhi pemilih. Masyarakat kurang mendapat edukasi tentang kriteria seorang pemimpin, profil para pemimpin yang menjadi calon dan sebagainya.

Keempat, sikap loyalitas total yang kadang membuat masyarakat simpatisan tidak berpikir soal alternatif calon selain partai yang menjadi pilihannya. Pokoknya tidak peduli seperti apa kualitas pemimpinnya yang penting dijagokan oleh partai simpatisannya. 

Kondisi inilah yang menjadi dinasti politik terus langgeng. Seandainya masyarakat terdidik secara politik, mereka tentu akan rasional dalam menentukan pilihannya. Masyarakatlah yang dapat memutus mata rantai dinasti politik. Calon dari dinasti politik manapun, manakala masyarakat tidak memilihnya maka tidak akan jadi pemimpin.

Jadi sudah saatnya berbagai komponen bangsa mengedukasi masyarakat tentang bagaimana memilih yang memiliki integritas, kualitas, kapabilitas sehingga kelak apabila terpilih dapat mewujudkan kemakmuran bersama dan tidak hanya mementingkan dapur rumah tangga partai naungannya ataupun kepentingan pribadinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun