Mengendalikan emosinya, sehingga tidak tergesa-gesa dalam merespons atau menilai lawan bicara.
Hadir sepenuhnya dalam dialog, mendengarkan secara aktif tanpa menginterupsi atau menghakimi.
Melihat lawan bicara sebagai sesama manusia, bukan sebagai masalah atau alat, tetapi sebagai pribadi yang layak dihormati.
Ketika seseorang berbicara dalam semangat Aku-Kau, ia tidak sekadar mentransfer informasi, tetapi membangun koneksi yang bermakna. Dalam Stoicism, ini selaras dengan prinsip hidup berbudi luhur (virtue), seperti keadilan, kebijaksanaan, dan kebaikan hati.
Tambahan lagi, Stoikisme mengajarkan bahwa segala hal eksternal, termasuk perilaku dan reaksi orang lain, berada di luar kendali kita. Yang bisa kita kendalikan hanyalah sikap dan niat kita dalam berkomunikasi. Maka dari itu, seorang Stoik tidak akan membalas kemarahan dengan kemarahan, melainkan dengan ketenangan dan pemahaman.
Dengan demikian, komunikasi Aku-Kau menjadi saluran bagi Stoik untuk menjalankan kebajikan dan ketenangan batin dalam hubungan antarmanusia. Dalam dunia yang semakin cepat dan reaktif, pendekatan ini membawa ruang untuk pengertian, kedalaman, dan transformasi batin. Komunikasi tidak hanya menjadi alat untuk menyampaikan pesan, tetapi juga sarana untuk tumbuh sebagai manusia yang utuh dan bijak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI