Mohon tunggu...
Eki Saputra
Eki Saputra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penulis lepas, pelahap buku, pencinta dongeng. Menulis apa pun yang sedang ingin ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Teori Bangga Tanah Air Dian Sastro untuk Siapa?

28 November 2019   13:13 Diperbarui: 28 November 2019   13:18 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rasa bangga (sumber: pixabay).

Hebohnya pernyataan Agnes Mo baru-baru ini bahwa ia tidak berdarah Indonesia mengundang banyak komentar publik. Mulai dari sesama artis yang ikut-ikutan menyindir pemeran sinetron Pernikahan Dini itu, sampai istana turut turun tangan memberikan klarifikasi. 

Namun, yang paling mencuri banyak perhatian warganet adalah kemunculan teori Dian Sastrowardoyo yang ia sebut Teori Identitas Kebangsaan. Menurut Dian Sastro dalam akun twitternya bahwa rasa bangga kita sebagai bangsa Indonesia itu berbanding lurus dengan luas nya wawasan dan pengetahuan kita terhadap sejarah dan kebudayaan bangsa kita.


Teori Identitas Kebangsaan ini yang digambarkan dalam grafik linear oleh Dian Sastro sontak membuat saya bertanya-tanya, apakah kebanggaan yang saya miliki atau nasionalisme yang banyak orang lain punya benar-benar berasal dari pemahaman sejarah dan budaya mereka? Pertanyaan saya terhenti ketika ingat adegan dalam Film Jagal (The Act Of Killing, 2012) dan Senyap (The Look of Silence, 2014). 

Betapa pun, bapak-bapak yang ada dalam film tersebut adalah orang yang mencintai tanah airnya, tidak diragukan rasa nasionalisme mereka pada bangsa ini. Namun, ketika ditelusuri lebih lanjut mereka masih buta akan motif utama dari tindakan genosida yang mereka lakukan terhadap suatu etnis dan kelompok yang dituduh PKI itu. 

Mereka melakukan semuanya hanya atas dasar cinta tanah air. Lalu nasionalisme mereka jika kita hubungkan dengan Teori Identitas Kebangsaan Dian Sastro malah tidak tepat. Kebanggaan pada negara ternyata tidak beriringan langsung dengan pemahaman terhadap sejarah dan budaya bangsa. Kebanggaan terhadap bangsa, justru mudah terbentuk dengan hanya mengetahui 'sepenggal sejarah' saja.

Tetapi saya dan Dian Sastro mungkin memiliki persamaan.  Kami bangga pada bangsa ini berkat sejarah dan budaya yang dipelajari. Di kehidupan saya, cerita patriotisme kakek saya dalam mengusir penjajah membuat saya sering terlalu overproud pada apapun soal bangsa ini. Saya mengelu-elukan budaya tanah saya dan mencintai budaya daerah lain.

Sayangnya harus saya akui,  saya tidak hanya punya rasa bangga, saya juga punya rasa takut dan malu. Rasa takut dan trauma muncul kala saya memahami bahwa dahulu bangsa ini sempat terpecah-pecah, kemudian disatukan oleh tujuan  founding  fathers atas dasar kesamaan nasib. 

Diikuti peristiwa mengerikan 1965 yang menjadi momok paling mengerikan, betapa tidak? pembantaian kejam yang diikuti pembalasan balik, telah menimbulkan teror tersendiri bagi bangsa ini sampai sekarang. 

Efeknya, sampai saat ini kecurigaan antar warga negara sering masih terjadi, bahkan ditemukannya logo palu arit mampu menggemparkan media. Belum lagi, penyerangan tanpa bukti suatu kelompok atau individu dengan mengaitkan sebagai pelaku peristiwa tersebut.

Peristiwa 65 bukan satu-satunya yang menjadi hantu menakutkan bagi saya. Setelah mempelajari masa orde baru sampai peristiwa 98, ada kecamuk tersendiri di dalam dada. Betapa kenyamanan dan kebanggaan yang saya rasakan selama ini tidak berdiri dari perjalanan berakhir manis belaka. 

Ada banyak penderitaan dan luka yang membekas, bahkan mungkin belum sembuh. Saya tidak bisa menjamin, apakah rasa bangga yang saya rasakan sekarang ini sama besarnya dengan yang dimiliki oleh para korban-korban peristiwa di tahun itu?

Teori Identitas Kebangsaan yang diusulkan Dian Sastro sepertinya tidak cukup adil untuk dipakai semua masyarakat Indonesia.  Andai dia tidak menuliskan kata 'sejarah' mungkin semua pihak bisa menerima pernyataan ini. 

Tak ada yang meragukan bahwa negara ini adalah surga bagi seni dan budaya. Namun, menghubungkan dengan pengetahuan sejarah justru kontradiktif dengan pemahaman terhadap seni. 

Sejarah sejatinya bisa dipandang sebagai sarana pembelajaran, tetapi tidak semua pelaku sejarah mampu melupakan bagian-bagian itu. Jadi kebanggaan yang mereka miliki, tidak mampu diukur atau diperkirakan hanya dengan teori grafik linear belaka. Harusnya grafik itu memberikan variabel pembatas yang jelas, atau faktor-faktor lain yang dipertimbangkan.

Saya mengusulkan ide untuk menyempurnakan Teori Identitas Kebangsaan dengan menambahkan faktor-faktor yang mempengaruhi teori ini yaitu faktor internal (dalam diri pelaku) menyangkut pengalaman hidup, kondisi sosial, dan kepribadian, serta faktor eksternal (kondisi bangsa), meliputi kondisi geografis, ekonomi, dan politik negara tempat dia tinggal. Tanpa mempertimbangkan faktor ini, gradien kenaikkan rasa bangga sukar untuk diterima oleh semua orang. Seperti yang saya katakan, tingkat kebanggaan masing-masing orang tak bisa diukur.

Akhirnya, saya simpulkan Dian Sastro tidak salah membuat teori ini, memang Teori Identitas Kebangsaan yang ia buat sangat relevan banget deh dengan kondisi pemeran Cinta dalam  Ada Apa Dengan Cinta ini. Ini juga mengingatkan saya dengan dialog dalam film fenomenal pada masanya itu,

Sekarang gue Tanya, salah gue? Terus, salah siapa? Salah gue? Salah temen-temen gue, salah gue, gue Tanya?

-bukan salah mbak kok, salah saya yang ikut nimbrung hihihi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun