Reno masih menatapku, "Aku juga terkejut"
"Mas Reno juga baru tahu?" tanyaku, "Bukankah perempuan itu dekat dengan Mas Reno?"
"Ya, tapi dia tidak pernah cerita tentang ini. Yang aku ingat terakhir kali dia cerita jika dia menyukaimu. Akupun sampai bisa merasakan rasa sayangnya dia padamu. Aku melihat ada airmata disana"
"Cukup!!! Perempuan manapun ternyata sama. Mereka pasti lebih mengejar materi. Bukankah Mas Ilham lebih mapan dari aku" selorohku.
"Kurasa bukan itu alasannya, dia bukan perempuan seperti itu" bela Reno.
"Mengapa Mas Reno membelanya, yang jelas-jelas mengungkapkan hati menyukaiku tapi menikah dengan pria lain"
"Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi Jun" kilah Reno.
"Perempuan itu hanya mempermainkan hatiku" aku terduduk lemas di bangku kerjaku.
Seolah rekaman masalalu aku dan perempuan itu terputar begitu saja. Pertemuan pertama kali, menyertainya dari hari ke hari, melihat tatapan matanya yang penuh rasa cinta padaku. Ah, apakah ini hanya fatamorgana saja, karena sesungguhnya hanya aku yang mencintainya dan perempuan itu tidak pernah menginginkanku. Haruskan ada pengorbanan yang lebih besar? Padahal aku sudah melepaskan ikatan pertunanganku, karena dia.
Reno menghela napas panjang, "Yang kuingat terakhir kali dari kalian berdua adalah perempuan itu mengatakan menunggumu untuk melamarnya dan dirimu hanya tertawa kecil menanggapinya"
Aku terhenyak dari lamunanku. Mungkin memang semua salahku, aku tidak pernah memberi kepastian, padahal perempuan seusianya pasti membutuhkan kepastian agar bisa segera membangun rumah tangga.