Mohon tunggu...
Eka Sulistiyowati
Eka Sulistiyowati Mohon Tunggu... Administrasi - karyawan

aku tahu rezekiku takkan diambil orang lain, karenanya hatiku tenang. aku tahu amal-amalku takkan dikerjakan orang lain, karenanya kusibukkan diri dengan beramal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Merah Marun

16 Agustus 2019   10:58 Diperbarui: 16 Agustus 2019   15:30 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matanya, senyumnya, tingkahnya

Semua mengisyaratkan cinta

Seandainya saja mampu kukatakan

Apa yang kurasa

Namun kehadirannya adalah luka.

Bahkan aku tak sanggup mengobatinya.

Entahlah mengapa jadi sedemikian parah.

Padahal sudah kucoba menghentikannya.

Aku tak ingin melihatnya lagi. Aku tahu dia berada di sana, memperhatikanku. Tapi aku tidak mau memandangnya. Memandangnya sama seperti halnya memandang luka. Luka yang masih kurasakan hingga detik ini. Hingga tahun berganti tahun. Hingga ratusan hari kulewati dengan hati penuh luka, ini semua karena rasa cintaku padanya. Cinta yang datang terlambat. Ataukah diriku yang terlalu lamban mengungkapkannya. Entahlah. 

Perempuan berjilbab merah marun itu masih memperhatikanku. Aku masih tetap melanjutkan aktifitasku sebagai panitia lomba tujuh belas agustusan di kantor. Aku tak perduli lagi padanya, sekalipun hatiku masih ada cinta terselip untuknya.

====

Tujuh tahun yang lalu.

Kusapa satu persatu teman satu ruangan denganku. Bersalaman dengan pria-pria itu membuatku makin menyukai aroma persaudaraan yang tercipta di kantor ini. Perusahaan yang sempat kubenci karena menempatkanku jauh dari kota kelahiranku. Bahkan jauh meninggalkan tunanganku. Padahal hubungan aku dan kekasihku itu baru saja diresmikan dengan pertunangan. Masa-masa berdua indah bersama terpaksa kukubur beserta lembaran masa depanku di perusahaan ini. 

"Wew...ada undangan lagi. Musim kawin ini yak. " kataku sembari mengambil undangan berwarna biru di mejaku.

Reno, seniorku yang satu ruangan denganku tetiba sudah berada di belakangku, menepuk bahuku pelan.

"Siapa nih yang kawin?" tanyaku.

"Oo...itu Ilham" jawab Reno.

"Oh ya...Mas Ilham yang orangnya pendiam dan  kaku itu, ada juga cewek yang mau sama dia" selorohku.

Dulu aku dan Ilham bekerja di divisi yang sama. Kami bekerja di lapangan, namun sejak setahun terakhir aku sudah ditempatkan di kantor. Bukan di lapangan lagi seperti dia. Setahuku Ilham juga tidak pernah memiliki kekasih. Bagaimana bisa lelaki yang kaku, pendiam, introvert seperti dia bisa menarik hati perempuan.

"Lho kamu nggak tahu dia nikah sama siapa?" Reno berbalik tanya padaku.

Aku menggeleng. Mana bisa aku menebak. Aneh-aneh saja Reno ini. Kecuali...

Kubuka lembaran undangan warna biru yang berjudul 'Ngunduh Mantu'. Mataku terpaku pada satu nama. Nama yang tak pernah asing bagiku. Bahkan nama yang selalu muncul di dalam otakku. Perempuan yang pernah hadir dan selalu menemani hariku. Perempuan dengan tawa nya yang khas, cerianya, bahagianya, bahkan bayangannya pun enggan pergi dari mataku. Apakah aku sudah salah membaca undangan ini. Mungkin saja ini perempuan lain yang namanya sama dengan perempuan itu. Bukankah nama perempuan itu terlalu pasaran. Jika mengetik nama panjang perempuan itu di mesin pencari Google pastilah ada deretan panjang nama yang sama. Tapi, jika ini bukan perempuan yang ada di benakku mengapa pula Reno mendekatiku dan  menepuk bahuku. Bukankah itu seolah menenangkanku. Jadi perempuan calon istri Mas Ilham adalah....

Reno masih menatapku, "Aku juga terkejut"

"Mas Reno juga baru tahu?" tanyaku, "Bukankah perempuan itu dekat dengan Mas Reno?"

"Ya, tapi dia tidak pernah cerita tentang ini. Yang aku ingat terakhir kali dia cerita jika dia menyukaimu. Akupun sampai bisa merasakan rasa sayangnya dia padamu. Aku melihat ada airmata disana"

"Cukup!!! Perempuan manapun ternyata sama. Mereka pasti lebih mengejar materi. Bukankah Mas Ilham lebih mapan dari aku" selorohku.

"Kurasa bukan itu alasannya, dia bukan perempuan seperti itu" bela Reno.

"Mengapa Mas Reno membelanya, yang jelas-jelas mengungkapkan hati menyukaiku tapi menikah dengan pria lain"

"Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi Jun" kilah Reno.

"Perempuan itu hanya mempermainkan hatiku" aku terduduk lemas di bangku kerjaku.

Seolah rekaman masalalu aku dan perempuan itu terputar begitu saja. Pertemuan pertama kali, menyertainya dari hari ke hari, melihat tatapan matanya yang penuh rasa cinta padaku. Ah, apakah ini hanya fatamorgana saja, karena sesungguhnya hanya aku yang mencintainya dan perempuan itu tidak pernah menginginkanku. Haruskan ada pengorbanan yang lebih besar? Padahal aku sudah melepaskan ikatan pertunanganku, karena dia.

Reno menghela napas panjang, "Yang kuingat terakhir kali dari kalian berdua adalah perempuan itu mengatakan menunggumu untuk melamarnya dan dirimu hanya tertawa kecil menanggapinya"

Aku terhenyak dari lamunanku. Mungkin memang semua salahku, aku tidak pernah memberi kepastian, padahal perempuan seusianya pasti membutuhkan kepastian agar bisa segera membangun rumah tangga.

===

Tujuh tahun sejak peristiwa itu belum juga menyembuhkan rasa sakit hatiku. Bahkan saat inipun aku masih bisa merasakan kehadirannya. Kehadirannya yang selalu membuat luka hatiku menganga. Tak tahu berapa lama lagi waktu kuhabiskan untuk menyembuhkan rasa sakit ini. Seakan seluruh dunia mengutukku yang tak bisa memperjuangkan cintaku. Entah mengapa masih sering kurasakan ada rasa cinta di tatapannya. Rasa cinta yang tak bisa dia ungkapkan.

Perempuan berjilbab merah marun itu masih memperhatikanku. Aku masih tetap melanjutkan aktifitasku sebagai panitia lomba tujuh belas agustusan di kantor. Aku tak perduli lagi padanya, sekalipun hatiku masih ada cinta terselip untuknya. Kulihat dirinya sekilas tersenyum melihatku. Aku tahu persis dalam senyumnya ada cinta. Tapi saat ini, cintanya adalah hal salah, pun cinta yang masih berakar di hatiku adalah cinta yang salah pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun