Mohon tunggu...
Eka Sulistiyowati
Eka Sulistiyowati Mohon Tunggu... Administrasi - karyawan

aku tahu rezekiku takkan diambil orang lain, karenanya hatiku tenang. aku tahu amal-amalku takkan dikerjakan orang lain, karenanya kusibukkan diri dengan beramal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jangan Menangis, Nak

4 Desember 2018   10:55 Diperbarui: 4 Desember 2018   14:53 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku mengecek kembali apa yang dibutuhkan untuk kunjungan ke Panti Asuhan hari ini. Dua ratus amplop dengan masing masing berisi empat ratus ribu rupiah sudah kusiapkan. Begitu juga snack untuk acara santunan pun telah siap. 

Entah mengapa jantungku berdetak tak karuan. Selalu seperti itu, sama seperti setengah tahun yang lalu, ketika didaulat untuk menjadi panitia santunan anak yatim, justru malah aku yang bersedih. 

Wajah-wajah polos mereka yang Nampak di pelupuk mata seakan tidak bisa dihapus begitu saja. Aku bersyukur karena di kantorku banyak sekali kegiatan sosial untuk masyarakat sekitar.  Ini membuat rasa empatiku tidak hilang tergerus waktu.

Aku, bukan terlahir dari orangkaya. Hidup keluargaku pas-pasan. Bapak yang berjualan jamu keliling tidak pernah mengeluh. Sekalipun terkadang dalam sehari kami hanya makan sekali, atau hanya sekedar minum untuk menghilangkan rasa lapar. Bersyukur karena Tuhan selalu memberikan kesehatan bagiku, Bapak, ibu dan adikku.

Semasa SMP, aku dan adikku yang masih sekolah kelas dua SD selalu dibangunkan pagi-pagi sekali oleh ibu. Jam dua dini hari ibu sudah berada di pasar, membeli lele, tempe tahu untuk keperluan dimasak dan dijual di kantin sekolah. Aku dan adikku biasanya bertugas mengemas mie dan nasi goring yang sudah dimasak ibu.

Jadi sebelum subuh kami sudah bahu membahu membantu ibu di dapur. Adikku lelaki, tapi dirinya tidak pernah mengeluh jika disuruh mengerjakan pekerjaan wanita. Baginya, membantu orangtua adalah kewajiban. Toh, darimana dia bisa jajan, kalau tidak membantu ibu bekerja.

Sepulang sekolah kami membuat es lilin, untuk dititipkan di warung-warung dekat rumah. Aku dan ibu yang membungkus es lilin warna warni sedangkan adikku yang bertugas mengirim es tersebut dari toko ke toko.

Di sekolah aku pun melayani apa yang dibutuhkan teman-teman. Tak jarang aku menerima tawaran fotokopi buku. Maklum jika fotokopi di sekolah harganya bisa dua kali lipat. Dari sana biasanya aku mendapatkan sedikit tip dari teman-temanku. Aku tak pernah malu mengerjakan semuanya tersebut selama masih dalam batas pekerjaan yang halal.

Aku terbiasa puasa, karena terkadang kami tidak punya uang untuk makan sehari-hari. Sekalipun begitu, ibu selalu menasihatiku agar tidak menceritakan kesedihan yang kami alami, walaupun ke saudara sendiri. Kami disuruhnya tetap menjadi orang yang tegar. Pantang melakukan kegiatan curang ataupun tidak halal untuk memenuhi kebutuhan kami. Ibu sangat religius.

===

Kali ini aku menatap satu persatu anak yatim yang kami santuni. Kepolosan paras mereka mengingatkanku seperti belasan tahun silam. Bedanya mungkin aku masih memiliki Bapak. Sekalipun saat SMA Bapak sudah tidak bisa bekerja sama sekali. Alhasil aku dan adikku mencari biaya sendiri untuk melanjutkan pendidikan. Dibantu beasiswa kami akhirnya lulus menjadi sarjana strata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun