"Lelaki itu selalu menganggapku sebagai seorang putri"
"Benarkah?"
"Iya, hingga kemanapun Sang Putri pergi takkan pernah dilepaskan sendirian"
Lelaki di seberang telpon tertawa pelan, "Ya, kamu memang putri. Dan aku tidak pernah menganggapmu sebagai putri. Bahkan memperlakukanmu sama seperti wanita pada umumnya"
"Kau mencintai istrimu?" tanyaku.
"Apalah artinya sebuah cinta jika dirimu telah memilki buah hati. Semua kebencian dan keraguan akan hilang saat kau menatap mata anakmu, saat kau mendengar tawa anakmu"
Aku menghela napas pelan, "Wan...aku hamil"
Lelaki di seberang telpon tetiba terdiam, padahal biasanya dia orang yang cerewet dan humoris.
"Aku hamil Wan, anak suamiku, mungkin benar kita harusnya melupakan semuanya." Kataku
"Selamat ya..." katamu lalu sambungan telpon itu terputus begitu saja.
Dua bulan berlalu, aku enggan untuk menelponnya kembali. Meskipun saat melihat fotonya masih membuncah rasa rindu di dalam hatiku. Ya, dirinya adalah rindu yang tak pantas untuk dirindu.