Mohon tunggu...
Eka Sarmila
Eka Sarmila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Long Life Learner

Halo! Perkenalkan saya Eka. Menulis adalah cara saya untuk bertukar cerita kepada orang lain pada jangkauan yang lebih luas.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Memasuki Masa Quarter Life Crisis, Mengapa Lebih Sulit Bahagia dan Kini Ada Standarnya?

30 Maret 2023   21:45 Diperbarui: 31 Maret 2023   20:12 916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahagia itu sederhana, katanya. Mendapat afirmasi positif dari lingkungan sekitar, mendapat hadiah dari orang tersayang adalah salah satu contoh hal kecil yang bisa membuat bahagia. 

Begitupun dengan harapan yang jadi kenyataan. Ini merupakan bentuk-bentuk kebahagiaan yang dimiliki oleh setiap orang. Ngomong-ngomong soal bahagia dalam World Happiness Report 2023, Indeks kebahagiaan Indonesia naik sedikit pada posisi 84.

Di mana sebelumnya, mengutip dari kompas.com Indonesia menempati peringkat 87 dan kini naik tiga peringkat dari sebelumnya. Selain itu, indikator indeks juga mengalami sedikit kenaikan, yaitu dari 5240 menjadi 547.

Foto/Tirachardz dari freepik.com
Foto/Tirachardz dari freepik.com

Adapun indikator yang digunakan dalam survei indeks kebahagiaan adalah dukungan sosial, pendapatan, kebebasan, kemurahan hati, dan tidak adanya korupsi dalam sebuah negara. 

Indikator di atas adalah indikator umum yang digunakan untuk memetakan tingkat kebahagiaan sebuah negara. Namun, tidak ada indikator pasti yang dapat mengukur kebahagiaan setiap orang. Pasalnya, bahagia adalah sesuatu yang abstrak dan hanya benar-benar dirasakan oleh hati masing-masing orang.

Mengapa Lebih Sulit Bahagia di Masa Quarter Life Crisis?

Foto Freepik.com
Foto Freepik.com

Semasa kanak-kanak standar untuk mencapai sebuah kebahagiaan begitu sederhana. Mendapatkan es krim di siang bolong, mendapat mainan yang lagi hype sudah mampu membuat hati bergembira. 

Lantas, mengapa memasuki masa remaja menuju dewasa standar untuk bahagia menjadi lebih kompleks. Bahagia diibaratkan memiliki standar yang ditetapkan oleh lingkungan sekitar. Terlebih saat memasuki masa quarter life crisis.

Quarter life crisis (krisis seperempat abad) adalah suatu fenomena perasaan gundah bagi orang-orang yang tengah memasuki usia dewasa. Usia ini dikisarkan pada umur 25-49 tahun. 

Pada masa ini, begitu banyak gejolak dan tekanan yang muncul. Terutama pada pencapaian karir dan masa depan pelakunya. Bahagia seolah distandarkan dapat terlaksana apabila seseorang telah sukses dan memiliki karir yang gemilang.

Foto Freepik.com
Foto Freepik.com

Belum lagi,  sukses yang  mengacu pada standar masyarakat lokal. Pemuda yang telah memiliki gaji di atas pendapatan rata-rata bahkan setidaknya memasuki nominal dua digit adalah orang dengan kategori sukses dan bahagia. 

Mengapa hal ini bisa terjadi?

Teori hirearki yang dicetuskan oleh Abraham Maslow menjelaskan bahwa terdapat tingkatan-tingkatan kebutuhan manusia. Di posisi paling dasar adalah kebutuhan fisiologis. Kebutuhan ini didasarkan pada kebutuhan primer manusia yaitu makan, minum, dan kebutuhan fisik lainnya.

Foto kompas.com dari wikimedia creative commons. 
Foto kompas.com dari wikimedia creative commons. 

Pada hirearki yang kedua, kebutuhan selanjutnya adalah rasa aman. Manusia biasa hidup berkelompok untuk saling melindungi satu sama lain. Dua tingkatan hirarearki ini dirasakan oleh segala usia. Sehingga, mengapa pada usia kanak-kanak jauh lebih mudah bahagia?

Alasanya, karena kebutuhan anak-anak jauh lebih sederhana. Memasuki hirearki yang ke-3 Maslow menegaskan akan kebutuhan sosial. Kebutuhan ini lahir dan berkembang bersamaan dengan emosi, seperti suka cita, marah, sedih, stress dan bahagia, 

Kemampuan untuk merasakan emosi secara mendalam dapat benar-benar dimaknai memasuki masa remaja. Ini adalah salah satu penyebab mengapa memasuki usia remaja bahagia mulai menjadi sesuatu yang kompleks. 

Sedangkan, pada masa quarter life crisis bukan hanya sekadar menjadi dewasa. Umumnya manusia akan memasuki fase membutuhkan penghargaan dan aktualisasi diri. Kedua hirearki ini adalah hirearki tertinggi dalam kebutuhan.

Memasuki masa quarter life crisis orang cenderung ingin dilihat dan dihargai atas pencapaiannya. Mengingikan belajar kemampuan baru agar mencapai tujuan hidupnya.

Foto. 8photo dari freepik.com
Foto. 8photo dari freepik.com

Sayangnya, segala proses memiliki jalan yang berbeda. Terkadang mengapa seseorang memiliki proses yang lebih cepat dan lebih lambat banyak faktor yang melatarbelakanginya.

Mulai dari faktor latar belakang pendidikan, asal daerah, hingga bagaimana latar belakang keluarganya. Membandingkan pencapaian orang lain dengan pencapaian diri memang tidak ada habisnya. 

Bahagia Itu Sederhana, Aku Ingin Lebih Banyak Di Dengar

Foto Tirachardz dari Freepik.com
Foto Tirachardz dari Freepik.com
Pernah melihat orang datang ke psikiater? Kira-kira apa pendapatmu tentang hal itu? Berdasarkan pengamatan melalui beberapa video di sosial media yang beredar, saya menyadari bahwa di masa quarter life crisis orang ingin lebih banyak di dengar.

Mendengarkan cerita mereka secara baik tanpa menghakimi sejatinya membantu mereka untuk melepaskan beban dalam hati. Mengapa mereka lebih percaya pada psikiater? Karena, lingkungan sekitar tidak dapat memberikan solusi dan ketenangan atas permasalahan yang dimiliki. 

Pemahaman akan isu kesehatan mental seolah masih menjadi hal yang tabu. Memiliki masalah mental cenderung dikaitkan dengan pribadi yang tidak agamis. Sehingga belum sempat cerita pun terkadang malah jadi minder. 

Mendengar bisa jadi wujud apresiasi bagi pencerita. Kebanyakan orang tidak membutuhkan pengakuan berupa sertifikasi secara konkrit. Melainkan mendapatkan ruang untuk bicara dengan orang terdekat adalah wujud kebahagiaan yang sebenarnya. 

Menanggapi Standar Bahagia Lingkungan Sekitar

Foto Pressfoto Freepik.com
Foto Pressfoto Freepik.com
Bahagia seolah kini distandarkan akan kesukesan seseorang. Orang sukses sudah pasti bahagia. Kurang lebih begitu slogannya. Padahal, bahagia itu tidak ada wujudnya. 

Entah mengapa, lingkungan sekitar kerap kali mentargetkan bahagia itu seperti ini. Bahagia itu apabila hidup sukses sesuai standar masyarakat.

Anggapan ini kerap kali membuat pelaku utama gerah dan kuping jadi panas. Namun, membalas dengan ucapanpun tidak akan menyelesaikan masalah. Lantas gimana cara menghadapinya?.

Yap, self-acceptence. Menerima segala kekurangan diri apa adanya dan bersyukur dengan yang dimiliki adalah kunci utama menemukan kebahagiaan. 

Meskipun demikian, self-accpetence tidak dapat dinormalisasikan sebagai sebuah perilaku malas upgrade diri. Self-acceptence adalah bentuk rasa syukur atas nikmat yang dimiliki. 

Misalnya, saya seharusnya bersyukur meskipun tidak memiliki gaji dua digit tetapi saya sehat fisik dan mental. Gaji saya cukup untuk membiayai kebutuhan dan belajar hal baru. Saya akan berusaha lebih keras menjadi pribadi yang lebih baik. 

Mengetahui keterbatasan, mencoba memperbaiki atau mencari alternatif lain, dan tidak membandingkan dengan orang lain adalah wujud penerimaan diri yang seutuhnya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun