Siapa yang pengen jadi guru? Kira-kira bakal ada berapa orang yang tertarik saat pertanyaan ini dilontarkan? Meskipun ada istilah "guru pahlawan tanpa tanda jasa," realitasnya di lapangan banyak yang gak tertarik jadi guru.
Bahkan dalam artikel "Perubahan IKIP Menjadi Universitas" karya Profesor Hafid Abbas (1996), lulusan 10 IKIP gak bisa diserap menjadi guru dengan jumlah sekitar 15.000-16.000 per tahun.
Alasan utamanya, karena masalah finansial. Masalah gaji yang kecil bahkan di bawah standar jadi cikal bakal mengapa banyak orang enggan untuk menjadi guru.
Anggapan bahwa guru hanya bertugas untuk memberikan pengajaran di kelas juga jadi anggapan sepele, bagi sebagian kalangan.
Lantas, benarkah demikian? Yuk, coba dengar Cerita Gita dari Kepulauan
Menjadi seorang tenaga pendidik adalah tantangan sekaligus tugas yang mulia. Apalagi kalau peserta didiknya adalah orang dewasa. Bukan cuma skill mendidik yang harus dimiliki.
Tapi juga mesti paham gimana caranya mendidik orang dewasa tanpa harus menggurui. Supaya kegiatan belajar mengajar tetap mencapai tujuan pembelajaran.
Anggita Dewi Mumpuni seorang tutor (sebutan guru di sekolah non-formal) di PKBM di Kepulauan Seribu membagikan alasannya tertarik untuk jadi pendidik di sekolah non formal.
"Karena peserta didiknya itu gak hanya yang umur sekolah, tetapi umur dewasa juga ada. Terutama di Kepulauan Seribu tempat aku dinas sekarang, siswa umur sekolah 20% dan siswa dewasa 80%" Jelas Gita.
Ia juga menambahkan bahwa sebagai seorang sarjana pendidikan luar sekolah, ini adalah bidang ilmu yang memang sesuai dengan jurusannya.
"Which is lebih banyak implementasi androgoginya yang aku pakai ketimbang pedagoginya" Tambah Gita.
Dari Kemampuan Bahasa Inggris sampai Living Diversiy jadi Kemampuan WajibÂ
Siapa yang sempat berpikir, kalau guru cuma harus punya kemampuan mendidik dan menguasai materi pelajaran? Anggapan ini terlalu sempit dan udah gak zaman. Guru juga mesti punya kemampuan yang relevan dengan perkembangan dan kebutuhan zaman.
Gita menuturkan bahwa di tempatnya mengajar, ia dituntut untuk memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang baik.
"Tempat dinasku juga tempat utama wisata Jakarta, yang mana ketemu orang asing pun juga. Apalagi punya siswa yang buka usaha traveling dan mereka mau gak mau harus punya skill komunikasi Bahasa Inggris dan peranku ada di situ." Ucap Gita.
Tentunya, kemampuan ini gak bakal muncul begitu aja. Gita juga menjelaskan bahwa selama menjadi mahasiswa ia aktif mengikuti kegiatan organisasi kampus bersama AIESEC.
AIESEC adalah organisasi kepemimpinan pemuda berbasis cross-cultural exchange yang sudah ada di kurang lebih 120 negara.
 "AIESEC lebih bantu aku berbaur ke semua jenis umur dan kalangan, living in diversity itu kerasa banget dan apalagi ngajar di sekolah non formal." Ucap Gita.
Ia juga menambahkan "Di sini pun juga tetap butuh yang namanya  dealing sama stakeholder."  Time management juga terlatih dengan aktifnya Gita di AIESEC.
Meskipun terlihat mudah, nyatanya guru memiliki tanggung jawab yang besar dalam mendobrak kemajuan bangsa. Gita pun menutup ceritanya bahwa guru adalah profesi eksklusif yang tidak akan pernah tergantikan oleh teknologi dan mesin.