Mohon tunggu...
Eka Melani
Eka Melani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ketika Isu Lokal Tak Lagi Tenggelam : Harapan di Balik Pemilu Terpisah

10 Oktober 2025   22:34 Diperbarui: 10 Oktober 2025   22:34 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Oleh Penulis, 2025

Pemilihan umum merupakan salah satu instrumen fundamental dalam sistem demokrasi yang berfungsi untuk menjamin kedaulatan rakyat.(Asshiddiqie, 2008) Akan tetapi, penerapan pemilu serentak sejak tahun 2019 justru menghadirkan berbagai persoalan baru. Dominasi isu-isu nasional dalam kontestasi politik menyebabkan agenda dan kebutuhan lokal seakan terpinggirkan, padahal persoalan masyarakat di daerah seperti pelayanan publik, tata kelola pemerintahan desa, hingga pembangunan infrastruktur sering kali lebih mendesak dibandingkan wacana politik nasional.(Nugraha, 2020) Kondisi ini kemudian mendorong lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menjadi titik balik penting. Dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa pemilu nasional dan pemilu lokal tidak lagi dilaksanakan secara serentak, melainkan dipisahkan dengan rentang waktu antara dua hingga dua setengah tahun. Kebijakan ini diharapkan mampu membuka ruang baru bagi demokrasi Indonesia agar lebih fokus, representatif, dan sehat dalam menjamin kepentingan rakyat.

Fenomena tenggelamnya isu-isu lokal dalam pelaksanaan pemilu serentak dapat dijelaskan melalui beberapa faktor. Pertama, dominasi isu nasional yang berpusat pada figur calon presiden serta partai-partai besar telah menyedot perhatian publik dan media, sehingga agenda lokal hanya menjadi latar belakang. Kedua, keterbatasan ruang kampanye membuat calon legislatif daerah kesulitan mengangkat isu spesifik, sebab perhatian masyarakat lebih banyak tersita pada hiruk pikuk politik nasional. Ketiga, kompleksitas teknis penyelenggaraan pemilu serentak dengan lima kotak suara menyebabkan fokus pemilih terpecah, sehingga isu-isu lokal tidak memperoleh prioritas. Keempat, beban penyelenggara yang sangat berat terbukti pada Pemilu 2019, ketika ribuan petugas KPPS meninggal akibat kelelahan, menunjukkan bahwa sistem serentak terlalu membebani dan berisiko tinggi bagi keselamatan penyelenggara.(Baehaki, 2025)

Pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu lokal diyakini mampu menghadirkan sejumlah perbaikan dalam praktik demokrasi di Indonesia. Dengan agenda yang dilaksanakan secara terpisah, masyarakat memiliki kesempatan lebih luas untuk menilai calon kepala daerah maupun calon legislatif lokal berdasarkan kebutuhan riil di wilayahnya. Pemilih pun tidak lagi dibebani dengan kewajiban memilih terlalu banyak dalam satu hari, sehingga kualitas partisipasi politik diharapkan meningkat. Isu-isu lokal yang sebelumnya tenggelam di bawah dominasi wacana nasional dapat memperoleh ruang yang lebih proporsional, sementara kandidat lokal akan lebih mudah dimintai pertanggungjawaban karena perhatian publik tidak lagi terseret oleh hiruk pikuk politik nasional. Dengan demikian, pemilu yang dipisahkan diyakini dapat memperkuat akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan sekaligus meningkatkan kualitas demokrasi secara keseluruhan.

Meski demikian, penyelenggaraan pemilu yang dipisahkan antara tingkat nasional dan lokal juga tidak lepas dari sejumlah tantangan. Salah satu persoalan utama adalah meningkatnya biaya penyelenggaraan, mengingat agenda pemilu harus dilakukan dua kali dalam periode yang berbeda. Selain itu, potensi kejenuhan pemilih juga perlu diantisipasi, sebab apabila jadwal pemilu terlalu berdekatan, partisipasi masyarakat dikhawatirkan akan menurun. Dari sisi kelembagaan, koordinasi antarpenyelenggara seperti KPU dan Bawaslu harus dipersiapkan dengan matang agar tidak menimbulkan persoalan baru. Skema transisi juga menjadi isu penting, mengingat adanya jeda dua hingga dua setengah tahun yang berpotensi menimbulkan kekosongan jabatan kepala daerah maupun anggota DPRD.

Untuk menjawab tantangan tersebut, sejumlah solusi dapat ditawarkan. Pertama, revisi regulasi, khususnya Pasal 95 dan Pasal 386 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, perlu dilakukan agar Bawaslu diberikan kewenangan melakukan penyidikan awal dengan batas waktu 7--14 hari. Dengan kewenangan ini, Bawaslu sebagai lembaga yang paling memahami kompleksitas pelanggaran elektoral dapat segera menentukan apakah bukti permulaan cukup untuk melanjutkan perkara ke tahap penuntutan. Kedua, penguatan sumber daya manusia dan fasilitas di Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan mutlak diperlukan agar koordinasi lebih efektif dan tidak lagi terhambat ego sektoral.(Azhari, n.d.) Ketiga, pendidikan politik masyarakat, terutama bagi pemilih muda, harus ditingkatkan agar isu-isu lokal benar-benar diperhatikan dalam kontestasi politik. Terakhir, transparansi anggaran menjadi kunci agar biaya tambahan dari pemilu terpisah tidak menimbulkan beban fiskal yang berlebihan.(Mukti et al., 2025)

Pada akhirnya, pemisahan pemilu nasional dan lokal bukan sekadar soal teknis, melainkan strategi untuk memperkuat kualitas demokrasi Indonesia. Dengan memberi ruang yang lebih proporsional bagi isu-isu daerah, suara rakyat tidak hanya dihitung, tetapi juga benar-benar diperhatikan. Harapannya, demokrasi Indonesia tidak lagi sekadar pesta lima tahunan, melainkan sarana nyata untuk menghadirkan keadilan sosial di setiap sudut negeri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun