Mohon tunggu...
Ei Pratama
Ei Pratama Mohon Tunggu... -

cuma sampah berserak yang dihembusi angin, digelungi dingin, dibaluri hening.. .

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Belantara dan Sebakul Rasa

24 Februari 2012   00:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:15 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tiba-tiba aku terdampar di sebuah pantai dengan hutan lebat seluas mata memandang daratan. Deburan ombak, hanya deburan ombak yang seolah berbondong menjejali telingaku, sesekali gemuruh angin malam. Dingin, sunyi, sendiri, dan lalu apa lagi?. Tak ada pesta pora, tak ada gincu gerombolan seksi wanita penggoda, pakaian ganti, uang, bahan makanan, bahkan air untuk sekedar membasahi kerongkonganku yang telah merangas sedari tadi. Oh, lengkaplah sudah. Tadinya, kupikir akan bisa menjumpai sesosok malaikat berlabel wanita indah yang akan menghiasi hari-hari ku, tapi... "Tuhan, tidakkah kau menguji umatMu melebihi batas kemampuannya?" begitu gumamku dalam hati, sembari memetakan lekuk demi lekuk daerah asing ini.

Sebuah ombak besar menghantam kapal kayu yang aku tumpangi. Maksud hati ingin ke pulau seberang menghadiri undangan pesta seorang teman lama yang sudah kuanggap saudara, malah harus terdampar di sini dengan pakaian yang hanya menempel di badan, tragis. Entah kata apa yang paling pas menggambarkan keadaanku saat ini. Entahlah, hidup ini terkadang sungguh sangat kejam, bahkan ketika hanya untuk sekedar dipikirkan. Bukankah mereka-mereka di sana itu, kini telah cukup nyaman dengan kehidupannya setelah cobaan silih berganti yang mereka alami. Lalu, haruskah kuakhiri derita ini dengan menjeratkan tali ke leherku atau membenturkan kepalaku pada bebatuan cadas di sekitar pantai ini?.

Entah pukul berapa sekarang, yang jelas, belantara pepohonan itu kini telah tidak nampak lagi di mataku. Gelap semakin mengental sepekat kopi yang biasa kugagahi tiap hari, jika boleh kuumpamakan begitu. Dingin, dan serangan dingin itu pulalah yang bermanja-manja di sekujur tubuhku kemudian menggiringku menjelajahi belantara hutan ini, sekedar untuk mencari hangat. Semoga saja kutemukan patahan ranting pohon di sana, juga beberapa daun lebar yang dapat kujadikan sebagai perlindungan. Semoga saja akan mampu sedikit mengurangi serangan dingin jahanam yang makin menusuk-nusuk tulangku.

Kulangkahkan langkah pertamaku di pasir pantai yang sangat halus ini. Selangkah demi selangkah, konstan bak ayunan jarum jam di kamarku yang hangat. Tak memakan waktu lama, sampailah aku pada pintu belantara itu. Semakin gelap dan sunyi, entah ke mana rembulan malam ini, hanya ada beberapa bintang yang bertumpuk membuat rasi, walau lebih mirip sebakul nasi dengan lauk pauk dan segelas besar es teh manis di perut laparku saat ini. Kuteguhkan tekadku, bukankah aku tak mau mati secepat ini?. Bukankah hidup tak hanya kaldera, ada juga warni warna hijau dan kilauan hangat cumbuan dunia?!.
Ah, sial. Apakah BETA telah lebih dulu singgah di tempat ini kemudian menculik semua makhluk yang mendiami tempat ini untuk mereka pelajari dan lalu menyerang bumi? Kenapa masih juga tak kudapati suara di tempat ini?.

"Kresek kressss..." begitu kira-kira bunyi suara yang seketika mengejutkanku dan di sisi lainnya membuatku agak merasa tenang, sepertinya suara pijakan.

Ada suara, ada kehidupan. Artinya, pikiran burukku yang selama ini termakan propaganda Tv, Hollywood, serta apa pun itu yang menyangkut UFO dan sebagainya itu telah gugur dengan tak perlu kita perdebatkan lagi kebenarannya. Lalu, suara apa tadi? Harimau atau hewan buas lainnya? Huff, aku tak punya waktu untuk memikirkannya. Aku sudah semakin menggigil dan lalu bergegas mempercepat langkahku. Kuserahkan hidup dan matiku hanya kepadaMu, jika belum ajalku, pastilah Engkau punya berjuta cara untuk menyelamatkanku, Tuhan.

Mulai kurabai sekitarku dengan segenap indera. Kutemukan beberapa ranting dengan ukuran nyaris sama, juga setumpuk daun-daun lebar tak jauh dari ranting-ranting tadi. Ini seolah telah disiapkan sebelumnya, terima kasih saja untuk semuanya, Tuhan.

Belum lagi ku padu-padankan ranting dan dedaunan lebar tadi, tiba-tiba sebuah kilatan memaksaku untuk melusurinya. Aku pun meniti sebuah jalan yang seolah menangkap kemudian memantukan kembali cahaya yang didapatkannya. setapak kian setapak kususuri jalan yang bercahaya itu, frekwensinya mirip seperti ketika kulakukan di atas hamparan pasir tadi, tapi kali ini ada bantuan cahaya. Lalu, setelah sekian masa, sampailah aku pada langkahan pamungkas, kudapati kotak berkilau emas dan cahaya terang yang entah kenapa tidak menyakiti mata. Juga ada sesosok wanita indah yang juga berjarak sama denganku terhadap kotak itu. Ah, kotak itu bak titik nol kali ini. Kami seolah dua buah objek komplementer yang dipisahkan dinding tipis cahaya penuh rasa, kemudian didorong untuk saling mengasihi.

"Kamu kenapa bisa ada di sini?" Tanyaku pada wanita itu.

"Rumahku tak jauh dari sini, tadi ada seberkas cahaya yang mengetuk hatiku, kemudian seolah memerintahkanku untuk menyusurinya." jawabnya.

"Kebetulan yang aneh, benar-benar aneh. aku pun mengalami situasi yang kamu katakan barusan, mungkinkah..." Celetukku dengan wajah sumringah entah karena apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun