Mohon tunggu...
Ei Pratama
Ei Pratama Mohon Tunggu... -

cuma sampah berserak yang dihembusi angin, digelungi dingin, dibaluri hening.. .

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malu

19 Januari 2012   14:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:41 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah malam lagi. Apa lagi kini? Nyamuk-nyamuk penggenap sakit roh ragaku? Tertawa bersama bedebah dan bir di ceruk persembunyianku.”

Hand phone tetap konsisten dengan mati surinya, berharian tak harus ku-charge karena memang sama sekali tak terberdaya. Kuhidupkan televisi, semoga saja kutemukan obat mujarab sakit ini. Hahaha,,, saluran 1, 2, 3, dan seterusnya. Semua sama, mengisi prime time dengan berjualan air mata, humor jaman orba, sinetron bumi-langit dan berita propaganda.

Cletek”

Bunyi tuts power tv kutekan dengan ibu jari kaki. Aku bergegas turun, berharap ayah ibu dapat sedikit mengurangi jebab di hati. Ayah sedang asyik menonton sinetron anjing. Dulu, sebelum beliau sakit, beliau selalu memindahkan saluran sinetron ke saluran berita dan atau mematikan tv ketika kami sedang berkumpul untuk makan malam bersama.

Beliau anti dengan sinetron sampah suguhan tv, juga reality show yang mengobral air mata. Beliau fokus akan pendidikan anak-anaknya, demam pun tetap disuruh sekolah. Jam sekian sampai sekian, wajib buka buku pelajaran. Mungkin itu juga alasan prestasi akademik aku dan adik-adik terbilang lumayan. Mungkin alasan itu pulalah kenapa aku tak mampu menyelesaikan program S-1 ketika, limit masa kuliah usai dan aku terpaksa mengundurkan diri demi menyelamatkan transkrip nilai. Dari sekian panjang masa kuliah, praktis cuma 5 – 6 semester di kampus. Sisa mata kuliah yang belum diambil 30, IPK 3.2.

Sisa semester yang lain ke mana?

Kucari ibu, ternyata sudah tertidur penuh damai di kamarnya. Kutatap wajahnya, bercahaya. Guratan lelah di wajahnya, ku tak tega. Ibu adalah orang tua tunggal ketika ayah diuji dengan sakitnya. Ibu mengobral daya upaya, menyeduh peluh tak kenal masa. Anak yang dia bangga, yang beliau pelihara, yang beliau susui jutaan cinta, ternyata sampah.

Haruskah kusalahkan Tuhan yang mengambil nikmat sehat ayahku, Ibu? Haruskah kukutuk Tuhan yang merampas idolaku dengan seenakNya? Tuhaaan, kenapa tak kau habisi aku? Kenapa bukan aku, kenapa harus ayahku?”

Ibu... Maafkan aku yang belum mampu menghandirkan secuil bangga di hatimu.

Maafkan aku yang melulu gagu.

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun