Setiap era memiliki tantangannya sendiri. Â Jika generasi sebelumnya berjuang untuk kemerdekaan dengan tombak bambu, generasi sekarang menghadapi tantangan yang lebih tenang: hilangnya kepercayaan. Â Di tengah gempuran informasi, ketidaksetaraan, dan korupsi yang seolah tak berujung, sebagian anak muda Indonesia mulai bersuara serempak: #kaburSajaDulu.
Faktanya, pada tahun 2045, Indonesia akan tepat berusia 100 tahun. Â Visi besar yang disebut Indonesia Emas 2045 bertujuan menjadikan Indonesia salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Â Tapi pertanyaannya adalah: siapa yang akan mewujudkannya jika generasi muda memilih untuk pergi?
Tren #KaburAjaDulu dan fenomena brain drain bukan hanya lelucon viral di media sosial. Â Ini adalah cerminan dari kecemasan nyata yang dirasakan banyak anak muda terhadap sistem domestik. Â Mereka merasa tidak punya ruang untuk berkembang, apalagi untuk berbicara.
Ketika peluang karier lebih terbuka di luar negeri, sementara birokrasi dalam negeri terasa sulit, wajar saja banyak yang memilih untuk pergi. Â Artikel dari Tirto.id dan BBC Indonesia menyoroti kisah nyata anak muda yang memilih Kanada, Jerman, atau Australia bukan karena membenci Indonesia, tetapi karena ingin hidup lebih adil dan layak.
Fenomena ini bisa berbalik arah secara signifikan jika terus diabaikan atau bahkan dianggap normal. Â Ketika anak-anak muda yang cerdas, kreatif, dan terampil berkembang di luar negeri, Indonesia perlahan kehilangan generasi agen perubahan.
Tanpa regenerasi pemikir, inovator, dan pengusaha muda, Indonesia akan mengalami stagnasi tidak hanya dalam ekonomi tetapi juga dalam budaya politik dan kepemimpinan. Â Selanjutnya, dominasi sumber daya manusia asing di sektor-sektor strategis bisa menjadi kenyataan, sementara pemuda Indonesia hanya menjadi penonton atau pekerja marjinal di negara mereka sendiri.
Jawaban singkatnya adalah: karena mereka merasa tidak dihargai. Â Banyak anak muda memiliki ide-ide segar dan semangat tinggi, tetapi mereka terhambat oleh sistem yang lambat, tidak transparan, dan tidak memungkinkan partisipasi. Â Di beberapa sektor, koneksi dan kekuasaan lebih menentukan arah karier daripada kompetensi.
Pengusaha muda juga sering kesulitan mengakses pendanaan, pelatihan, atau pasar. Â Ketika memulai bisnis di luar negeri lebih mudah dan lebih dihargai, tidak heran "melarikan diri" menjadi pilihan yang logis, bukan hanya emosional.
Meskipun ada tantangan signifikan, bukan berarti semuanya suram. Â Masih banyak anak muda yang memilih untuk tetap tinggal dan membuktikan bahwa Indonesia layak diperjuangkan. Â Tokoh-tokoh seperti Dea Valencia dengan Batik Kulturnya adalah contoh nyata. Â Dia membangun perusahaan sosial dari dalam negeri, sambil menyediakan lapangan kerja bagi penyandang disabilitas.
Selain itu, banyak komunitas pemuda aktif di bidang lingkungan, pendidikan, dan ekonomi kreatif. Â Mereka membuktikan bahwa membangun bangsa bisa dimulai dengan langkah-langkah kecil yang konsisten. Â Mereka tidak hanya bertahan, mereka membangun.
Beberapa kota seperti Bandung dan Semarang mulai melibatkan kaum muda dalam proses musyawarah pembangunan. Â Melalui forum musrenbang pemuda, pelatihan startup, dan program inkubasi kewirausahaan, mereka membuka ruang bagi ide-ide baru dari anak muda.
Program-program seperti Startup Studio Indonesia dan BEKUP (Bekraf untuk Pre-Startup) juga mulai menyediakan pelatihan, pendampingan, dan akses ke modal. Â Namun, program-program ini perlu diperluas, diperkuat, dan dibuat lebih mudah diakses untuk menjangkau lebih banyak anak muda di seluruh Indonesia.
Solusi jangka panjangnya bukan hanya tentang dana, tapi juga tentang kepercayaan dan rasa kepemilikan. Â Pemerintah perlu membangun sistem yang lebih ramah bagi kaum muda: birokrasi yang transparan, politik yang bersih, dan kebijakan yang partisipatif.
Indonesia juga bisa meniru negara-negara seperti India dan Korea Selatan, yang berhasil menarik kembali diaspora muda melalui kebijakan reverse brain drain, menawarkan insentif, proyek nasional, atau kontribusi digital jarak jauh.
Akhirnya, kita membutuhkan narasi yang positif. Â Indonesia bukan hanya tempat yang penuh masalah, tetapi juga tempat yang penuh potensi jika generasi mudanya diberi ruang, dipercaya, dan dirangkul.
"Jika anak muda hanya disuruh diam, mereka akan pergi. Â Tapi jika mereka diundang untuk berbicara dan diberi ruang, mereka akan tetap tinggal, berkembang, dan membangun".
Indonesia Emas 2045 tidak akan lahir dari infrastruktur saja, tetapi dari manusia, dari anak-anak muda yang memilih untuk tetap tinggal dan berjuang di negara mereka sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI