Mohon tunggu...
Egiwandi
Egiwandi Mohon Tunggu... MAHASISWA

Program Studi Filsafat Keilahian Program Sarjana (S1) di Universitas Sanata Dharma.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Rodrigo Duterte dan Cacat Etika

12 Maret 2025   11:15 Diperbarui: 12 Maret 2025   11:32 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Duterte Ditangkap karena Kejahatan terhadap Kemanusiaan" selengkapnya https://news.detik.com/internasional/d-781

 

Beberapa hari terakhir ini, publik di hebohkan dengan penangkapan Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Penangkapan ini terjadi pada Selasa, 11 Maret 2025,  atas perintah  International Criminal Court (ICC). Alasan penangkapan ini karena Rodrigo Duterte dituduh oleh  lembaga Mahkamah Pidana Internasional atau  International Criminal Court (ICC) terlibat dalam kasus pembunuhan. (Tempo, 11 Maret 2025)

Selama menjabat presiden Filipina, Rodrigo Duterte dikenal dengan arogansi kekuasaannya dalam menghadapi para pengedar narkoba.  Tidak heran, ia dijuluki sebagai presiden bertangan besi. Salah satu kebijakannya selama masa kepimpinannya (2016-2022)  adalah war on drugs. Kebijakan ini menjadi kontroversi karena dianggap cacat dalam  etika politik.

Dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan (Hatyatmoko, 2014), menjelaskan bahwa etika politik di satu  sisi dibenci oleh para penguasa karena dianggap sering mengkritisi pemerintahan, namun, etika politik bisa menjadi jembatan bagi para penguasa untuk menghalalkan legitimasi terhadap kekuasaannya.

Dalam konteks Kasusnya Rodrigo Duterte selama masa kepemimpinannya,  pembunuhan terhadap 6.200 tersangka merupakan salah bentuk cacat etika politik. Karena bagaimana mungkin menghilangkan ribuan nyawa atas dasar kebijakan.  Banyak korban dalam kasus ini, orang-orang yang dicurigai dan tanpa proses hukum yang jelas. Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar etika politik yaitu prinsip keadilan dan keluhuran martabat manusia. (Franz Magnis-Suseno, 2021)

Dalam ilmu etika, kebijakan Duterte mencerminkan prinsip etika utilitarianisme ekstrem. Prinsip etika ini mengorbankan hak setiap  individu demi kepentingan umum. Menjadi masalahnya,  pendekatan ini mengabaikan keadilan substantif dan hak asasi setiap manusia, yang sebenarnya basis atau  landasan moral dalam setiap pemerintahan. Karena pemerintah tidak berhak untuk menghilangkan nyawa rakyatnya hanya untuk kepentingan umum.

Dari kasusnya Duterte, dapat disimpulkan bahwa menjalani kekuasaan tanpa etika dapat berujung pada cacat Kemanusiaan. Menjadi penting adalah, Kepemimpinan harus  berlandaskan pada nilai moral dan etika agar dapat menciptakan pemerintahan yang adi dan beradab.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun