Mohon tunggu...
Egiwandi
Egiwandi Mohon Tunggu... MAHASISWA

Program Studi Filsafat Keilahian Program Sarjana (S1) di Universitas Sanata Dharma.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Wajah Yang Lain dalam Etika Emmanuel Levinas

10 Maret 2025   11:30 Diperbarui: 10 Maret 2025   11:59 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://bulir.id/menyelami-pemikiran-emmanuel-levinas-tentang-perjumpaan-wajah-yang-lain/

Wajah Yang Lain dalam Etika Emmanuel Levinas

(Ferdinandus Iswandi)

1. Pengantar

Wajah yang lain merupakan salah satu tema kunci dalam pemikiran Emmanuel Levinas. Konsep wajah selalu merujuk pada pengalaman dan tuntutan terhadap etika. Melalui konsep wajah ini, Emmanuel Levinas melepaskan  corak pemikiran filsafat yang menekankan "being" dan "totality".  Bagi Levinas, konsep ada (being) dan totalitas (totality) merupakan ingatan akan kekejamannya Nazi.

Dalam perjalanan intelektualnya, Emmanuel Levinas  belajar mengenai pokok-pokok pemikirannya Edmund Husserl.[1] Bagi Emmanuel Levinas, Edmund Husserl telah membawa metode baru ke dalam ruang berfilsafat. Metode berfilsafatnya Edmund Husserl mempertimbangkan dengan serius motivasi yang menggerakkan psikis dan modalitas. Modalitas ini mencirikan berbagai keberadaan yang ditangkap oleh pengalaman. Metode berfilsafat ini juga melibatkan penemuan terhadap cakrawala-cakrawala yang tak terduga terhadap being, yang ditangkap oleh pemikiran representatif.  Dan juga oleh kehidupan konkret yang pra-predikatif yaitu dimulai dari tubuh (bersifat polos), dan budaya (terkadang tidak bersifat polos). 

 Dengan menunjukkan kesadaran dan keberadaan yang direpresentasikan dari konteks non-representatif, Husserl dianggap telah menyangkal tempat kebenaran "being atau ada" dalam representasinya. Kerangka yang diperlukan untuk konstruksi ilmiah tidak pernah sia-sia, jika seseorang berhati-hati dengan makna bangunan-bangunan gagasan ini. Gagasan-gagasan yang melampaui kesadaran tidak terpisah dari asal-usulnya dalam kesadaran yang pada dasarnya bersifat temporal.

Terlepas dari intelektualitasnya dan keyakinannya terhadap keunggulan filsafat Barat, Husserl tetap mempertanyakan privilese Platonis yang sebelumnya tidak pernah dibahas. Baginya, Yang Lain atau the Other tidak dapat didefinisikan melalui ontologi tentang being. Tujuan umum dari pemikirannya adalah untuk menunjukkan waktu bukanlah pencapaian dari subjek yang terisolasi, melainkan hubungan yang dimiliki oleh subjek  dengan Yang Lain. Sedangkan,  totalitas (totality/totalite) selalu mengutamakan keseragaman dan kepentingan (politik) dalam perwujudan kehidupan bermasyarakat.[2]

 2. Biografi Emmanuel Levinas dan Tokoh-Tokoh yang Mempengaruhinya

Emmanuel Levinas adalah seorang filsuf etika.  Menurut  pemikirannya, filsafat pertama (prote philosophia)[3] adalah etika yang mana memberikan makna bagi cabang ilmu-ilmu lain khususnya cabang ilmu metafisika.[4]  Pertanyaan mendasar adalah bukan soal apa itu ada (being) melainkan tentang bagaimana seseorang bisa hidup.

Sejak awal kelahirannya, Emmanuel Levinas dipengaruhi oleh pelbagai macam penindasan sosial, perang dan genosida  yang mana berdampak pada intelektualnya. Ia lahir di Lituania, Rusia pada 12 Januari 1906. Keluarganya termasuk dalam kelas menengah yang sangat taat terhadap ajaran Yahudi. Pada kesempatan yang sama, ia juga lahir dalam masa revolusi Rusia pada tahun 1905. Pengalam awal dengan situasi yang tidak kondusif, dapat mempengaruhi cara ia berfilsafat.

 Hasrat terhadap pendidikan dan kebebasan, mendorong Levinas untuk meninggalkan tanah kelahirannya. Ia mengenyam pendidikan di Universitas Starsbourg pada tahun 1923. Petualang  intelektualnya yang paling menarik yaitu membaca karyanya Edmund Husserl yaitu Logical Investigations (1900-1). Dalam perjalanan waktu, ia juga mempelajar pemikiran dari Martin Heidegger khususnya dalam buku Being and Time. Hal ini terlihat dalam ungkapannya, "Saya pergi untuk menemui Husserl dan  Saya juga menemukan Heidegger".[5]

 Salah satu karya yang paling peting dalam perjalanan hidupnya tentang Otherwise than Being. Karya ini berhasil mengukuhkan levinas sebagai sosok utama dalam fenomenologi.   Namun, ada beberapa karya penting lainnya seperti Totalit et Infini (Totalitas dan Yang Tak Berhingga) pada tahun 1974,  Autrement qu'tre ouau-del de l'essence (Lain daripada Ada atau di seberang esensi) pada tahun 1995, The Theory of Intuition in Husserl Phenomenology, 1930, Meditationes Cartsienes: Introduction la Phnomnologie par Edmund Husserl (1931), dan En decouvrant l'existence avec Husserl et Heidegger, 1949.[6]

 3. Konsep Pembebasan dalam Pemikiran Emmanuel Levinas

 Emanuel Levinas memiliki cara pandang tersendiri mengenai konsep pembebasan. Konsep pembebasan dalam kerangka pemikirannya selalu berkaitan dengan etika dan tanggung jawab terhadap yang lain.  Ia adalah seorang filsuf yang berpengaruh dalam tradisi fenomenologi dan eksistensialisme. Menurut Emanuel Levinas "Yang Lain" (the Other/Liyan) mendasari pemahaman manusia  tentang pembebasan. Berikut ini, beberapa gagasan Emanuel levinas tentang pembebasan; 

 3.1 Etika sebagai  Jalan Pembebasan terhadap  Wajah Yang Lain

 Emanuel Levinas dijuluki sebagai pemikir etika heteronom. Etika  heteronom ini yang membedakan dengan etikanya Immanuel Kant, yang lebih bersifat otonom.[7] Konsep kunci dalam etika Levinas adalah penampakan wajah,[8] yang mana dalam konteks ini berbeda dengan pengalaman indrawi yang biasa kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam buku Totality and Infinity, ia menghendaki etika sebagai langkah pertama dalam berfilsafat. Hal yang dimaksudkan Levinas adalah etika harus mampu membebaskan wajah orang lain dan berusaha untuk melepaskan diri dari "totalitas" dengan konsepnya tentang yang tak terhingga. Makna yang tak berhingga dalam hal ini adalah suatu realitas yang secara substansial tidak mungkin masuk dalam ruang lingkup pengetahuan. Di sisi lain, yang tak terhingga mengacu pada konsep "yang lain" (di luar diri subjek). Untuk memahami makna "orang lain", Emanuel Levinas menggunakan istilah filosofis yang baru yaitu penampakan wajah.

Penampakan wajah bukanlah sebuah benda atau barang yang dapat dilihat, melainkan sebuah ekspresi yang menyampaikan makna, perasaan, dan hubungan antarsubjek. Konsep penampakan wajah secara etis tidak serta merta untuk mendeskripsikan atribut atau kualitas yang harus dimiliki oleh wajah lain. Yang menjadi penting adalah harus mencapai tindakan etis karena hal ini memberikan sikap atau ekspresi terhadap wajah yang lain.[9]

3.2 Tanggung Jawab terhadap Wajah Yang Lain

 Dalam perjalanan hidupnya, ia pernah mengalami  situasi penderitaan,  kematian, penganiayaan, dan penindasan. Peristiwa ini  menjadi peristiwa  yang esensial dalam hidupnya. Pengalaman yang panjang atas situasi yang dialaminya, telah menginspirasinya tentang who is the others? Baginya, hubungan dengan penderitaan atau kematian terhadap wajah yang lain bukan sebuah pengetahuan tentang apa itu kematian atau apa itu penderitaan.[10] 

 Konsep wajah memungkinkan orang lain untuk bertanggung jawab secara etis terhadap sesamanya.[11]  Melalui konsep ini, setiap individu diajak  untuk melihat kembali konsep pemikiran filsafat barat yang menekankan ego[12] dan totalitas.  Ego yang dimaksudkan di sini adalah menjadi pusat dari segala sesuatu. Ego tidak hanya pandang sebagai subjek dari "cogito"[13] yang artinya saya berpikir tetapi menjadi pusat dan akhir dari realitas. Perjumpaan dengan wajah lain memungkinkan tanda kepedulian terhadap sesama, memungkinkan untuk membebaskan diri dari dominasi, dan membuka ruang tanggung jawab terhadap yang lain.

Dalam rana ini, levinas menyadari bahwa "the Others/ Yang Lain" tidak bisa direduksi menjadi objek yang dapat dikendalikan sepenuhnya. Subjek yang akan memahami pentingnya untuk menghormati dan memperlakukan sesama manusia dengan penuh tanggung jawab. Tanggung jawab etis ini bukanlah sebuah beban, melainkan sebuah panggilan untuk bertindak secara bijaksana dan peduli terhadap keberadaan orang lain. Dengan demikian, pembebasan sejati hanya dapat dicapai ketika subjek mampu melampaui egoisme dan egosentrisme, serta menerima tanggung jawab tanpa batas terhadap sesama manusia sebagai bagian integral dari eksistensi manusia itu sendiri.

 3.3 Pembebasan dari Kekerasan dan Penderitaan

 Levinas menganggapi krisis nilai dalam tradisi humanis barat yang mana dilatarbelakangi oleh munculnya ideologi Nazi. Baginya, ideologi yang dihidupi oleh Nazi sebagai bentuk penyimpangan terhadap nilai kemanusian.[14]  Hal ini, pernah diungkapkannya  bahwa rasisme terhadap nilai kemanusian berlawanan dengan budaya liberal dan tidak mewakili dogma tertentu. Rasisme radikal sering kali sering kali memperjuangkan  kemanusiaan dan pada saat yang sama mengutuk ras lain.[15] Tindak kejahatan tidak hanya dianggap sebagai lawan dari prinsip kebaikan, tetapi juga sesuatu yang lebih mendalam dan tak terjangkau, yang berakar dalam hubungan etis subjek dengan "the other" (orang lain).

 Dalam konteks ini, ia menekankan pentingnya perjumpaan antara subjek dengan wajah yang lain (objek). Perjumpaan ini menjadi momen penting di dalam kehidupan manusia karena setiap perjumpaan  menuntut tanggung jawab dari pribadi (subjek) terhadap kehadiran orang lain. Di sisi lain, perjumpaan juga menekan subjek agar dapat  menemukan identitas dan keunikannya.

Cara atau konsep pemahaman ini, meniadakan kemungkinan tentang perbedaan (alteritas) karena subjek mampu menangkap wajah Yang Lain (liyan)  menjadi bagian hidupnya. Cara berpikir demikian sebagai bentuk pembebasan yang mampu melepaskan dari kecenderungan untuk mendominasi atau mengontrol yang lain. Dan juga, subjek mampu memberikan ruang karena yang lain merasa bagian dari dirinya. Sehingga, pembebasan berarti menghormati kebebasan orang lain, dan berusaha menjauhi tindakan yang mereduksi atau menindas orang lain.

4. Apresiasi terhadap Pemikiran Emanuel Levinas

 Pemikiran Emmanuel Levinas memiliki relevansi dalam konteks di Indonesia sekarang, khususnya di bidang etika, filsafat, dan tanggung jawab. Hal ini mendorong setiap masyarakat atau pemangku kebijakan   untuk berani berpikir tentang orang lain dalam setiap pengambilan keputusan maupun kebijakan tertentu. Konsepnya tentang "the Other" mengajarkan masyarakat atau pemangku kebijakan    untuk melihat nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap individu dan memberikan prioritas pada kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi.

Dalam kehidupan sehari-hari, sikap individualis dan egois masih terus bertumbuh dan berkembang. Pemikiran Levinas menjadi penting untuk menciptakan ruang bonum commune atau kebaikan bersama. Dengan memahami pemikiran levinas subjek memiliki tanggung jawab moral terhadap sesama manusia, semua elemen yang mana dapat menciptakan hubungan yang lebih harmonis dan saling mendukung dalam kehidupan sosial-masyarakat.

 5. Relevansi Pemikiran Emanuel levinas

5.1 Bidang Etika

 Di Indonesia akhir-akhir ini, pelanggaran terhadap etika masih terus dibicarakan karena setiap pribadi atau kelompok masih mempertahankan ego dan kepentingannya masing-masing misalnya dalam bidang hukum. Dalam tulisannya Haryatmoko, Kepastian hukum di negara Indonesia terkadang menjadi senjata untuk menyerang etika karena etika selalu dianggap lemah dan abstrak.[16] Padahal etika sebenarnya menjadi dasar atau basis dari filsafat.

 Konsep etikanya Levinas dapat disetujui oleh Paul Ricouer bahwa etika harus basis dari filsafat.[17] Di sisi lain, Paul Ricouer menolak beberapa gagasan dari Emanuel levinas tentang etika asimetris.[18] Paul Ricouer mengusulkan dalam hidup bersama harus bersifat partisipatoris dan resiprokal yaitu saling menunjukkan rasa hormat dan respek terhadap satu sama lain.[19]

 Levinas menekankan pentingnya mengutamakan kewajiban terhadap orang lain sebelum diri sendiri (menyentakkan egoisme). Keberadaan diri (person) karena ada relasi dengan yang lain. Hal inilah yang disebut wajah (face, le visage) yang memungkinkan kita bisa bertemu dengan yang lain. Pertemuan ini disebut sebagai pertemuan yang etis yang mana wajah mampu melampaui ada (being) dalam pandangannya Martin Haidegger.[20]

 Levinas mencoba mempertanyakan apa dibalik ontologi Heidegger Khususnya Being and Time. Baginya, Being and Time hanya  mengandalkan pemahaman atas yang ada dan menolak keberadaan orang lain.[21] Dalam era individualisme yang semakin menjamur, pemikiran ini menjadi penting untuk mengingatkan kita bahwa keberadaan manusia tidak bisa lepas dari hubungan pribadi dengan orang lain.

5.2 Tanggung Jawab Sosial

 Levinas juga menyoroti pentingnya tanggung jawab sosial dalam memperhatikan kebutuhan sesama. Tanggung jawab terhadap wajah yang lain tidak bersifat timbal balik atau simetris melainkan bersifat asimetris yaitu melulu pada kebaikan orang. Hal ini, mau menunjukkan bahwa kebaikan terhadap wajah yang lain sebagai dasar sikap moral bukan berakar pada kejahatan. Di sisi lain, kita sebagai manusia sudah dirahmati oleh kebaikan itu sendiri, tanpa harus memilih untuk berbuat baik.[22]

 Rasa tanggung jawab adalah landasan utama dalam menjalani hubungan dengan orang lain. Sebagai contoh, seorang dosen harus bertanggung jawab atas perkembangan akademik dan kesejahteraan mahasiswanya. Hal ini mencakup memberikan bimbingan, dukungan, dan pengarahan agar mahasiswa dapat menyelesaikan studi dengan baik. Sama halnya dengan orang tua yang memiliki tanggung jawab besar terhadap anak-anaknya. Mereka harus memberikan kasih sayang, pendidikan, dan perlindungan yang dibutuhkan agar anak-anak dapat tumbuh dengan baik. Dengan memprioritaskan rasa tanggung jawab dalam interaksi dengan orang lain, maka dapat menciptakan hubungan yang sehat, saling mendukung, dan penuh kepercayaan.

 Di sisi lain, yang dikritik oleh levinas adalah munculnya tindakan-tindakan negatif yang merugikan individu lain secara fisik atau materiil, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip moral yang mendasari hubungan antar manusia. Kebaikan sejati terletak pada kemampuan untuk melihat dan merespons keberadaan individu lain dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab. Tidak heran, tindakan kejahatan, penipuan, kecurangan, dan kebohongan tidak hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga mengingkari esensi kemanusiaan itu sendiri.

6. Catatan Kritis 

 Bagi penulis, pendekatan etika levinas bersifat idealis khususnya etika asimetris. Etika asimetris levinas menekan peran subjek terhadap wajah yang lain. Wajah yang lain dalam konteks ini sebagai tanggung jawab etis.[23] Namun, kritik terhadap etika ini mencakup beberapa aspek penting yaitu Levinas terlalu menuntut karena menempatkan tanggung jawab tak terbatas kepada individu terhadap Yang Lain, sehingga tidak heran  mengabaikan kebutuhan pribadi. 

 Prinsip etis asimetris ini hampir-hampir mustahil untuk dikerjakan tanpa bantuan orang lain yang sama-sama punya kepentingan setara untuk hidup secara adil. Dalam menjalankan prinsip ini, kolaborasi dan kerja sama antar individu atau kelompok sangat dibutuhkan atau dengan kata lain kedua aspek (subjek dan yang lain) harus saling memberi dan menerima (take and give, do ut des). Seandainya tanpa bantuan dan dukungan dari orang lain, prinsip etis hemat penulis ini mungkin tidak akan terwujud dengan baik. Oleh karena itu, penting bagi saya untuk selalu menghargai kontribusi dan kerja sama dari semua pihak yang terlibat dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan dalam kehidupan ini.

7. Kesimpulan 

 Pengalaman pribadi dari Emanuel Levinas dalam menyaksikan kekejaman Nazi terhadap orang Yahudi menjadi penting dalam pemikirannya. Dalam konteks ini, konsep wajah yang lain dalam etika Levinas bukan hanya sekedar abstraksi filosofis, tetapi juga refleksi dari pengalaman nyata akan kekejaman dan ketidakadilan di dunia. Proyek filosofisnya adalah pencarian makan terhadap wajah yang lain tidak dapat ditotalisasi oleh kekuatan identitas tertentu. Namun, aspek penting dari wajah yang lain bukanlah sebuah objek yang dieksploitasi melainkan melihat sebagai subjek yang harga.

 Wajah yang lain bukanlah alat atau barang, apa pun alasannya wajah yang lain harus mengakui keberadaan atau eksistensinya. Levinas mengajak untuk berfokus pada wajah yang lain, dan seolah-olah kita sedang melupakan kepentingan diri sendiri. Wajah yang menjadi akses perjumpaan dengan yang lain yang memungkinkan kita untuk mengentak sikap ego dalam diri.

  

Catatan Kaki

[1]  Edmund Husserl adalah seorang filsuf Jerman. Pokok pemikiran dari Edmund Husserl adalah pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi merupakan pendekatan yang mempelajari fenomena-fenomena yang muncul dalam kesadaran manusia tanpa mengambil asumsi atau interpretasi sebelumnya. Melalui fenomenologi, kita dapat memahami bagaimana manusia merasakan, mengalami, dan memberikan makna terhadap dunia di sekitarnya.

[2] Elisabeth Louise Thomas, Emmanuel Levinas: Ethics, Justice, and the Human Beyond Being (New York & London: Routledge New, 2004), 24.

[3] Editha Soebagio, "Onto-Theo-Logi Metafisika Menurut Heidegger Dan Kritik Levinas," dikutip dari https://www.academia.edu/41802966/Onto_Theo_Logi_Metafisika_menurut_Heidegger_dan_Kritik_Levinas.

[4] Sen Hand, Emmanuel Levinas (USA and Canada: Routledge, 2009), 10.

[5] Sen Hand, Emmanuel Levinas, 12-13.

[6] Kosmas Sobon, "Etika Tanggung Jawab Emmanuel Levinas," Jurnal Filsafat 28, no. 1 (2018): 47.

[7] Etika Emanuel Kant bersifat otonom karena  ekspresi sebagai  inti dari rasionalitas kemanusiaan. Sedangkan, Teori Etika Emmanuel Levinas  bersifat Heteronom. Kata heteronom berasal dari dua kata yaitu heteros dan nomos. Heteros berarti "yang lain atau berbeda".  Sedangkan, nomos () yang berarti hukum atau aturan.

[8] Haryatmoko, Prinsip-Prinsip Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2024), 117.

[9] william Large, Levinas' 'Totality and Infinity' (London: Bloomsbury and the Diana logo are trademarks of Bloomsbury, 2015), 194.

[10] Bettina Bergo, (Meridian_ Crossing Aesthetics) Emmanuel Levinas, Bettina Bergo - God, Death, and Time (Stanford University Press, 2000), 20.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun