Mohon tunggu...
Eggy Aryabhazda Suwandi
Eggy Aryabhazda Suwandi Mohon Tunggu... Mahasiswa Pascasarjana Magister Management Universitas Widyatama

H. Eggy Aryabhazda Suwandi, S.M., MM(c) Master of Management Candidate, Universitas Widyatama, Bandung Assistant Lecturer of Management, Digitech University Seorang ekstrovert yang energik dengan minat kuat dalam ilmu manajemen dan penerapannya dalam berbagai aspek kehidupan. Arya mendalami manajemen tidak hanya sebagai bidang akademik, tetapi juga sebagai pendekatan strategis dalam berkarya dan berwirausaha. Ia menyalurkan gagasan dan inspirasinya melalui fotografi, videografi, dan aktivitas rekreatif yang memperkaya perspektifnya terhadap dinamika bisnis dan organisasi di era digital.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anies Bicara Perubahan, Dedi Mulyadi Menunjukkannya.

8 September 2025   06:14 Diperbarui: 8 September 2025   06:14 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anies Bicara Perubahan, Dedi Mulyadi Menunjukkannya.

Perubahan: Antara Janji dan Aksi

oleh H. Eggy Aryabhazda Suwandi, S.M., M.M.(c)

Narasi Perubahan vs Aksi Perubahan

Kata perubahan belakangan menjadi istilah politik paling laris di Indonesia. Dalam Pilpres 2024, publik masih mengingat Anies Baswedan sebagai tokoh yang paling konsisten menggaungkan diksi ini. Sejak awal pencalonannya, ia hadir sebagai kandidat yang menjual optimisme melalui konsep besar yang ia sebut sebagai Delapan Rumusan Perubahan. Rumusan ini menyentuh sektor-sektor fundamental kehidupan rakyat:

  1. Kedaulatan Pangan -- membangun ekosistem pertanian yang kuat, menekan impor, dan mengembalikan kejayaan petani.
  2. Akses Pendidikan dan Kesehatan -- pemerataan fasilitas agar anak di Papua hingga Aceh mendapat layanan setara dengan anak di Jakarta.
  3. Lapangan Kerja yang Layak -- reindustrialisasi nasional, perluasan investasi, dan penguatan sektor riil.
  4. Pemerataan Pembangunan -- mengurangi kesenjangan desa--kota, Jawa--luar Jawa, barat--timur Indonesia.
  5. Kualitas Pembangunan -- menjanjikan pembangunan berkelanjutan, ramah lingkungan, dan efisien.
  6. Jaring Pengaman Sosial -- memperkuat bansos agar tepat sasaran dan inklusif.
  7. Komitmen Anti-Korupsi -- mengembalikan independensi KPK, mendorong UU Perampasan Aset, dan memperkuat integritas birokrasi.
  8. Perlawanan terhadap Mafia -- janji memberantas rente dalam energi, pangan, dan tata kelola sumber daya.

Dilihat sekilas, rumusan ini tampak menyeluruh, menyentuh titik rawan yang memang menjadi keluhan masyarakat. Anies berhasil mengemas perubahan bukan hanya sebagai kata, melainkan sebagai narasi politik yang elegan. Dalam setiap pidato, ia tampil sebagai visioner dengan retorika akademis yang menawarkan arah baru bagi bangsa.

Namun di balik narasi tersebut, muncul catatan penting: semua gagasan itu masih berada di tataran visi. Ia belum memiliki instrumen eksekusi karena tidak sedang memegang kekuasaan. Dari kacamata manajemen perubahan ala Kotter, Anies baru berada pada fase create a vision---menciptakan arah strategis. Visi itu penting, tetapi belum bisa disebut perubahan sejati sampai ada aksi yang membumi. Lebih jauh, narasi perubahan Anies bersifat top-down: dideklarasikan di panggung besar, diterima sebagai jargon politik, lalu dijadikan energi kampanye. Publik pun kerap bertanya: "Apakah energi itu akan menjelma jadi program konkret, atau berhenti sebagai janji?"

Sementara itu, ketika menengok Jakarta di era kepemimpinan Anies (2017--2022), yang tampak ke permukaan memang proyek-proyek besar. KJP dan KJS diperluas, MRT dan LRT beroperasi, dan stadion megah Jakarta International Stadium (JIS) berdiri sebagai landmark baru ibu kota. Dari luar, semua ini terlihat sebagai pencapaian gemilang.

Tetapi jika dicermati, mayoritas proyek raksasa itu bukan gagasan murni Anies. MRT sudah dimulai sejak Jokowi menjabat Gubernur DKI (2012) dengan kontrak pinjaman Jepang. LRT ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) di era Presiden Jokowi. JIS merupakan proyek olahraga nasional yang dikawal langsung Kementerian PUPR, awal gagasannya bahkan muncul sejak era Jokowi--Ahok. Artinya, keberhasilan Anies lebih tepat disebut sebagai "pemotong pita" dibanding penggagas utama. Tanpa dana APBN dan restu pemerintah pusat, proyek itu tidak mungkin berdiri.

Justru program khas Anies yang lahir dari inisiatif lokal lebih banyak menuai polemik:

  • DP 0 Rupiah -- dijanjikan 250 ribu unit, direvisi 29 ribu, realisasi hanya sekitar seribu unit.
  • Formula E -- menelan APBD triliunan, audit penuh kontroversi, manfaat ekonominya minim.
  • Tunjangan DPRD -- membengkak hingga Rp70 juta/bulan, menuai kritik publik.
  • TGUPP -- dianggap terlalu gemuk, anggarannya puluhan miliar.
  • Sumur Resapan -- ribuan titik dibangun, banyak gagal fungsi, bahkan merusak jalan baru.
  • Patung Bambu di Bundaran HI -- habiskan Rp500 juta, kemudian dibongkar, jadi simbol pemborosan.
  • Perumahan kumuh -- tetap luas, padahal DP 0% dijanjikan sebagai solusi.

Semua itu menimbulkan kesan bahwa ketika gagasan besar dijalankan tanpa perencanaan matang dan disiplin manajemen eksekusi, hasilnya justru lebih banyak menimbulkan kontroversi ketimbang solusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun