Mohon tunggu...
Ega Asnatasia Maharani
Ega Asnatasia Maharani Mohon Tunggu... Dosen - A wanderer soul

Psikolog, Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh studi S3 di International Islamic University Malaysia (IIUM) bidang Clinical Psychology.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Beradaptasi untuk Versi Terbaik "New Normal"

15 Mei 2020   10:42 Diperbarui: 16 Mei 2020   08:52 1698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Lima bulan sejak Covid-19 menjadi isu global, saat ini kita dihadapkan pada keharusan untuk beradaptasi dengan cara hidup baru. 'New normal' adalah strategi dalam merespon perubahan jangka pendek, namun memiliki implikasi jangka panjang.

Berbagai negara menyiapkannya sebagai bagian exit strategy sambil menunggu ilmu pengetahuan menemukan vaksin untuk pencegahan virus SARS-CoV-2. Tentu saja sambil tetap melakukan strategi utama berupa test, tracing, treat, dan isolate. Adaptasi menuju 'new normal' merupakan langkah logis ketika kita sudah memilih untuk berdamai dengan virus alih-alih berperang melawannya.

Bentuk perilaku baru ini sudah nampak di berbagai ruang publik. Pembatasan jarak, pengecekan suhu tubuh dan protokol cuci tangan sebelum masuk area umum, penggunaan masker, hingga pertemuan dan kepentingan yang dilaksanakan secara online. Titik fokusnya sama: ini adalah upaya bersama menjaga kesehatan diri dan komunitas.

Menjalani hidup dengan ukuran normal yang baru sebenarnya bukan hal asing dalam kehidupan manusia. Ketika seseorang mengalami trauma kehilangan yang sangat mendalam misalnya, ia akan menjalani fase hidup selanjutnya dipenuhi dengan perasaan kesepian, hampa, kekurangan kasih sayang, perubahan pola makan dan tidur, hingga mungkin caranya berelasi sosial. 

Richard Gross dalam bukunya The Psychology of Grief menggunakan kerangka psychosocial transition theory (PSTT) dalam menjelaskan kondisi ini.

Ia menuliskan ketika seseorang kehilangan orang lain yang sangat ia cintai, segala sesuatu yang sebelumnya dianggap 'hak hidupnya' (dan dianggap sebagai sesuatu yang 'normal') menjadi barubah, sehingga dalam upayanya bertahan hidup ia harus merekonstruksi ulang 'normal versi baru'nya. 

Misalnya, dalam bentuk pemaknaan ulang tentang kebahagiaan, keterlibatan dalam aktivitas sosial, atau nilai hidup yang lebih berorientasi pada kemanusiaan. Dalam versi pandemik ini, perbedaannya terletak pada skala perubahan itu.

'New normal' yang saat ini kita hadapi seharusnya adalah bentuk kesadaran kolektif, bukan lagi pengalaman personal. Oleh karenanya, pola kehidupan baru serta efek dominonya seharusnya juga terlihat pada berbagai aspek kehidupan. Pertanyaan yang kemudian muncul: sebenarnya sejauh mana kesiapan kita merespons 'new normal'?

Sebuah online study dirilis Kantar Indonesia bulan april lalu menunjukkan dimana posisi kita saat ini. Masyarakat Indonesia secara umum akan berada pada tahapan Adjusting -- Adopting - Aligning.

Di tahap adjusting, pengaruhnya terlihat pada perilaku keseharian seperti penyesuaian waktu kerja, transisi berbelanja dari model tradisional ke sistem online, lebih banyak memasak di rumah. Pada tahap adopting, masyarakat mulai merencanakan keuangan dengan lebih teliti khususnya untuk penggunaan jangka panjang. 

Sementara pada tahap aligning dimana masyarakat sudah membentuk cara baru dalam pengelolaan hidup, belum terlihat ada perubahan yang signifikan dalam masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun