Mohon tunggu...
Efron Dwi Poyo
Efron Dwi Poyo Mohon Tunggu... -

Fanatik FC Bayern München. Mia San Mia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekolah Minggu

14 April 2016   07:24 Diperbarui: 14 April 2016   07:38 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Robert Raikes (1735 - 1811), Bapak Sekolah Minggu. (Gambar: dailymail.co.uk)"][/caption]Dalam sejarah gereja tidak ada pokok bahasan yang lebih penting daripada pendirian Sekolah Minggu (SM) dalam Revolusi Industri di Inggris pada abad ke-18. SM dianggap sangat penting karena satu di antara sejumlah jawaban atas dampak negatif Revolusi Industri. Terjadi perubahan dahsyat tenaga manusia dan hewan diganti oleh mesin-mesin industri. Puncaknya adalah permintaan sangat tinggi terhadap bahan-bahan wol.

Akibat permintaan sangat tinggi tersebut membuat lahan-lahan pertanian secara kilat makin berkurang, karena beralihrupa menjadi padang rumput bagi domba-domba penghasil bahan wol. Akibat selanjutnya muncul pengangguran petani besar-besaran, karena mereka sudah tidak mempunyai lagi lahan untuk bercocok tanam. Tak ayal lagi mereka (anak-anak, muda, dan tua) berduyun-duyun ke kota mengadu nasib bekerja di sektor industri, walau tanpa keterampilan. Gaji mereka murah sehingga membuat para pengusaha makin meraup banyak untung. Prinsip pengusaha kala itu: jika buruh dibayar untuk tiga hari sudah cukup membiayai kehidupan keluarganya selama sepekan, untuk apa menambah gaji mereka. Para pengusaha sangat suka pada keadaan buruh-buruh yang tanpa pendidikan, karena mudah diatur dan mau digaji rendah. Walau praktik mencari untung ini sudah dikecam oleh begawan ekonomi Adam Smith, namun pemerintah Inggris bahkan gereja tidak menghiraukan isu-isu etis tersebut. Mereka juga tidak melihat kenyataan banyak penyakit sosial akibat hari-hari libur buruh-buruh.

Bukan Gereja yang Mengawali

Robert Raikes (1735 - 1811), seorang penerbit dari Gloucester, kerap melawat narapidana dan menulis artikel yang memerikan (describe) keadaan mengenaskan para narapidana yang dilawatinya. Raikes akhirnya menarik kesimpulan akhlak orang dewasa tidak akan dapat diperbaiki lewat pelawatan. Pendidikan akhlak harus diawali dari angkatan muda, khususnya anak-anak.

Raikes kemudian menggagas apa yang kemudian disebut dengan SM. Dengan bantuan Pendeta Thomas Stock ia mendirikan SM bagi anak-anak miskin yang bekerja menjadi buruh-buruh pabrik. Raikes mengambil hari Minggu saat buruh-buruh itu libur. Mereka diajar membaca dan menulis serta tentu saja pendidikan iman Kristen. Praktik Raikes ini mendapat sambutan hangat dari warga awam. Perbuatan Raikes ini diharapkan mampu mencegah anak-anak jatuh ke dalam tindak kejahatan.

Raikes bukanlah seorang pemikir atau filsuf pendidikan. Ia adalah seorang praktikus yang memandang penyakit sosial mengancam kewarasan masyarakat dan ia menggagas serta bertindak mengatasi sebagian dari masalah tersebut. Meskipun pengerja gereja dan pendeta sebagai pribadi melibatkan diri dalam SM, namun pemimpin gereja Inggris dan pengusaha merasa diri terancam oleh gerakan mendidik anak kalangan jelata. Jika anak-anak itu sudah mampu membaca dan menulis, maka mereka akan tidak puas pada penindasan yang mereka alami. Sejumlah petinggi gereja dan pengusaha kemudian menghasut Perdana Menteri Pitt untuk menerbitkan larangan penyelenggaraan SM dan pendirian sekolah baru. Rupanya usaha mereka gagal, karena ternyata SM mendapat dukungan dari Istana.

Pada 1780 anak-anak didik SM pertama kali diajar oleh seorang ibu (tidak ada catatan nama ibu itu). Raikes menggaji guru itu dari uangnya sendiri. Kenakalan yang kelewat anak-anak di kelas membuat ibu itu tidak tahan dan mengundurkan diri setelah mengajar hanya beberapa bulan saja. Guru kedua adalah Ibu Cristchley. Ia lebih pintar dan profesi guru diembannya secara turun-temurun sampai 1863. Raikes sendiri banyak membantu guru tersebut terutama saat guru kesulitan menghadapi anak didik yang kelewat nakal. Raikes juga kadangkala mengajar anak-anak didik di SM dengan menggunakan alat peraga serta banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk membangkitkan pemikiran anak. Secara umum kurikulum SM mula-mula adalah pengetahuan Alkitab, katekismus, keterampilan membaca dan menulis, serta berhitung. Ketika SM makin banyak tersebar, buku-buku pelajaran untuk pertama kalinya diterbitkan. Buku yang paling populer adalah Sahabat bagi Anak Sekolah Minggu setebal 120 halaman. SM semakin mendapat citra positif secara meluas di Inggris.

Ada tiga watak utama SM mula-mula. Pertama, SM merupakan gerakan kaum awam, kendati ada pendeta sebagai pribadi ikut terlibat. Kedua, organisasinya berada di luar struktur formal gereja. Ketiga, warga awam yang terlibat di dalamnya lebih menekankan pelayanan mendidik anak-anak ketimbang melayani sinode gereja mereka. Saat Raikes meninggal dunia pada 1811 jumlah murid SM lebih daripada 400 ribu orang. Sebuah tamparan keras bagi Gereja Inggris yang gereja sendiri tidak mau/mampu melayani SM yang merupakan kebutuhan dasar anak-anak.

Dampak Karya Besar Raikes

Gagasan SM Raikes pada 1790 dibawa ke Amerika. SM pertama didirikan di Philadelphia oleh empat gereja. Mula-mula bahan pelajarannya berasal dari Inggris. Tidak seperti di Inggris yang lebih menekankan pendidikan anak-anak SM di Amerika sejak 1830 melayani semua kalangan untuk memenuhi kebutuhan rohani dan nalar. SM menyebar subur di seluruh Amerika.

Kemajuan SM di Amerika lebih gemilang karena didukung penuh oleh pemerintah. Bahkan Kongres pernah menghentikan sidang hanya untuk ikut berbaris bersama dengan utusan sidang raya nasional SM. Satu hal yang mirip dengan Inggris gerakan SM ini di luar struktur formal gereja sehingga para pengurus SM diambil dari orang-orang awam. Pada 1872 sidang raya nasional Amerika memelopori gagasan kurikulum SM yang sama sekali baru yang kemudian disebut Seri Mata Pelajaran yang Seragam.

Gagasan SM Robert Raikes juga menyebar ke Eropa daratan seperti Jerman dan Belanda. Di Jerman bahkan menekankan keperluan guru terlatih untuk mengajar SM dengan membekali ilmu teologi dan pedagogi. Sama halnya di Inggris perkembangan SM di Jerman dan Belanda dilakukan oleh warga awam yang didorong oleh gerakan Pietisme. Gerakan SM makin mendunia seiring dengan misi Pekabaran Injil.

Sejalan dengan waktu SM pada akhirnya terintegrasi dengan gereja yang diawali oleh Belanda.  Di masa modern hampir tidak ada gereja (dalam arti struktural) di seluruh dunia yang tidak membuka kelas SM. Di beberapa negara bahkan membuka SM untuk berbagai golongan usia. Sudah barang tentu bahan pelajaran berbeda dalam setiap kelas. Kelas dewasa, misalnya, para peserta mendiskusikan isu-isu etis masa kini, selain juga memberikan keterampilan seperti komputer.

Di Indonesia ada gereja yang mengalihrupa istilah SM menjadi kebaktian anak (KA), misal Gereja Kristen Indonesia (GKI). Walau bernama KA pada kesehariannya tetap saja disebut dengan SM. KA adalah SM dengan kurikulum yang sudah diatur dan disiapkan secara serbacakup dengan membuat penjenjangan kelompok usia. Pada dasarnya SM di Indonesia (juga di banyak negara) bertujuan untuk mendidik dan membina iman anak berdasarkan kelompok usia. Pada gilirannya anak-anak ini akan mampu untuk bergabung dengan warga jemaat dewasa dalam kebaktian umum dan kehidupan bergereja. Mengapa harus ada pengelompokan kebaktian umum dan kebaktian anak? Jawabannya mudah saja karena nyaris mustahil anak-anak mampu menerima pengajaran dari mimbar pendeta/romo dengan bahasa pengajaran orang dewasa.

Apa yang telah dilakukan oleh Robert Raikes menunjukkan bahwa karya seorang awam (bukan rohaniawan atau pendeta) berdampak luar biasa bagi kehidupan bergereja. Dalam sejarah gereja cukup banyak peranan orang awam yang berdampak dahsyat bagi denyut nadi kehidupan bergereja. Sebut saja Jean-Jacques Rousseau yang digadang-gadang sebagai empu pedagogi Kristen dan Ludwig van Beethoven, maestro musik klasik, yang satu dari ratusan nomornya diabadikan di Kidung Jemaat No. 3 Kami Puji dengan Riang (Joyful, Joyful, We Adore Thee). Keduanya menampilkan karya-karya agung bagi kehidupan bergereja, namun kemiskinan dan sakit-penyakit melekat pada kehidupan mereka.

Di Indonesia secara khusus di kalangan gereja Protestan tercatat nama TB Simatupang sebagai awam pemikir gereja, walau karya Pak Jenderal ini belum sedahsyat dampaknya seperti yang dilakukan oleh orang-orang di atas. Meskipun demikian saya meyakini ada banyak warga awam yang sudah dan sedang berkiprah besar untuk membangun kehidupan bergereja. Hanya saja mereka tidak atau belum terpublikasikan. Jangan-jangan saya bakal tercatat sebagai warga awam yang membawa dampak besar bagi gereja? Siapa tahu? Ha ha ha ha ha

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun