Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Albert Camus dan Nietzsche: Siapakah Manusia?

27 Januari 2020   08:10 Diperbarui: 27 Januari 2020   08:12 1609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Albert Camus (Foto: Alchetron.com)

Pembunuhan bukan lagi sebagai pro-kontra manakala kita percaya pada ketiadaan (nothing), ketiadaan tersebut mempunyai makna, dan kita menyetujui bahwa di sana tidak ada nilai-nilai, maka segala sesuatu menjadi mungkin dan ketiadaan itu pun menjadi suatu hal yang tidak penting. Tak ada pro kontra: pembunuhan itu bukanlah sesuatu yang benar atau salah.

Untuk mengatakan bahwa hidup itu absurd, maka hati nurani perlu dihidupkan. Sejak saat kehidupan ini dikenal atau diakui sebagai sesuatu yang baik, maka hal itu baik untuk semua orang.

Absurd kontradiksi dalam dirinya. Sebab, dalam keinginannya untuk menegakkan hidup, ia mengeluarkan semua pertimbangan nilai, padahal, bila kita hidup berarti suatu pertimbangan nilai. 

Paham absurd, dalam bentuknya yang paling murni, mencoba untuk tetap membisu. Jika ia menemukan suaranya, itu disebabkan karena ia telah terpuaskan dengan dirinya sendiri atau mempertimbangkan dirinya sebagai sesuatu yang sementara.

Kematian dan Pemberontakan
Kematian sendiri absurd, selama orang tak lagi menerima kenyataan yang transenden. Menjelang kematian itulah setiap orang berhadapan dengan kenyataan yang diinginkannya. Kematian kunci terakhir untuk menilai makna kehidupan. Apa gunanya membangun peradaban sekian lama namun kita akhirnya ditelan kematian?

Masa depan adalah sesuatu yang absurd, tak pernah bisa dipahami. Camus amat konsekuen dengna pandangannya bahwa seorang absurd tak bisa berbuat selain menggeluti absurditasnya saat ini. Camus menolak segala bentuk futuriseme dan ideologi yang menjanjikan hari yang indah dan masa depan yang cerah.

Manusia yang menyadari absurditasnya dapat menyerah atau putus asa begitu saja. Namun, ada pilihan untuk memberontak. Camus lebih memilih alternatif ini. Pemberontakan ini harus konsisten dengan menyadari kodrat dunia seraya menolak turut masuk ke dalam tragedinya.

Kematian merupakan sindiran terhadap seluruh rencananya, maka pemberontakan merupakan ekspresi kebebasan yang istimewa: menyatakan diri benar kendati harus menjalankan hukuman mati. Seseorang harus mengumpulkan pengalaman pemberontakan sebanyak-banyaknya. Pemberontakan dapat dilihat sebagai reaksi positif dari kemacetan dunia karena absurditas itu.

Manusia sebagai pelayan ide (kehendak)
Pandangan Camus, bagi penulis, menerangkan dimensi waktu bahwa manusia hidup dalam 'saat ini'. Sisipus bisa saja memberontak terhadap hukumannya bila saat ini memang menjatuhkan martabatnya.

Dewasa ini, ide maupun kehendak manusia bertemu dengan otonomi manusia. Ini titik penting bagi manusia, dia harus melawan ide atau patuh terhadapnya. Sebagai warga negara, ide tersebut mulai dibungkus rapi sebentuk ideologi. Atas nama ideologi tersebut, peristiwa di luar akal sehat terjadi sebanyak mungkin, walau beberapa orang akan menolak dengan berbagai pertimbangan.

Atas nama bangsa dan negara, sikap patriotik terutama kalangan militer, seseorang bertaruh sebagai subjek yang otonom. Manusia bukan tak mungkin bergelut sendiri walau jelas dia harus merelakan kebebasannya. Angan-angan dan cita-cita tentang masa depan, manusia perlu merefleksikan kehendaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun