Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Angka dan Data bukan Hal Utama dalam Politik Pemilu 2019

25 April 2019   02:52 Diperbarui: 25 April 2019   03:07 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pelaksanaan Pemilu 2019 telah selesai. Meski real count suara belum ditetapkan, publik terlebih dahulu disesakan pada isu kecurangan. Tuduhan itu masif disuarakan oleh mayoritas pendukung paslon Presiden-Wakil Presiden nomor urut 02 Prabowo-Sandi.

Tuduhan kecurangan pelaksanaan Pemilu 2019 boleh dikatakan sangat kencang disampaikan mengingat perolehan suara hasil hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survey menunjukan hasil yang menempatkan Prabowo-Sandi di bawah lawannya Jokowi-Amin. Hitung cepat Litbang Kompas dengan sampel suara masuk 100 persen menunjukkan, Jokowi-Amin memperoleh 54,45 persen sementara Prabowo-Sandi 45,55 persen.

Lain di kubu relawan, lain lagi tafsiran publik. Berangkat dari keyakinan bahwa hasil hitung cepat tidak jauh berbeda dengan hasil Real Count, publik sudah menemukan siapa Presiden-Wakil Presiden terpilih selanjutnya: Jokowi-Ma'ruf Amin.

Namun, perolehan suara adalah satu bagian terbesar yang akan menjadikan paslon terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Masih ada proses selanjutnya yaitu pengambilan sumpah dalam sidang MPR RI yang sarat nuansa politik.

Saya tidak ingin membahas jauh sampai ke sana. Topik terhangat yang ingin saya uraikan adalah persepsi publik melihat situasi politik pascapemilu beberapa hari terakhir terlihat fungsionalis dan pragmatis.

Sebagian publik menganggap perolehan suara adalah puncak dan akhir yang akan menentukan siapa Presiden dan Wakil Presiden RI. Dengan kata lain, pemenang dalam perolehan suara akan menjadi Presiden-Wakil Presiden 2019-2024.

Itu gambaran ideal dan sempurna untuk sebuah pertarungan. Pemilu menjadi ajang untuk memperlihatkan sikap fair melawan tendesi merasa paling benar.

Tetapi, kita tidak boleh mengabaikan bahwa yang dihadapi saat ini adalah para politisi dan term politik yang berhubungan dengan kekuasaan. Dalam sejarah dunia, politik kekuasaan ini memang memiliki daya yang sangat dahsyat untuk mengatur roda pemerintahan dan kehidupan bernegara. Di sana ada ideologi, ada hasrat untuk memperjuangkan nilai-nilai kebenaran.

Sebagian di antara kita barangkali sangat 'alergi' dan benci tatkala mendengar istilah 'Politik Kekuasaan'. Kekuasaan menjadikan manusia otoriter, penguasa yang rakus dan sebagainya dan sebagainya.

Tetapi Pemilu tanpa hasrat kekuasaan adalah omong kosong!  Seseorang dengan hasrat berkuasa yang tinggi bukanlah sesuatu yang aneh. Atas nama kebenaran, semua orang akan menempuh jalan semaksimal mungkin untuk mencapainya. Ini yang kemudian membentuk wajah dunia sampai saat ini.

Sejak merdeka sampai saat ini, semua urusan negara adalah kekuasaan. Karena itu, tidak mengherankan jika Prabowo mengklaim bahwa dia adalah Presiden Indonesia pascapemilu 2019. Tidak mengherankan jika Fadli Zon meyakini bahwa Prabowo adalah pemenang Pilpres meski hasil hitung cepat mayoritas lembaga survey tidak menempatkannya sebagai pemenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun