"Tidak." Derman menolaknya.
"Ini bukan sebuah balas budi, ini untuk pekerjaanmu, mulai sekarang bersungguh-sungguhlah untuk membersihkan makam Ibu," ucapku.
"Rumput-rumput ini, aku tidak mengerjakan apapun selama ini," ujar Derman.
Derman adalah satu-satunya pelayat yang datang ke pemakaman Ibu saat itu, bersama aku dan pastor yang memimpin upacara pemakaman. Dua orang penggali kubur sedang menikmati asap tembakau beberapa meter dari liang lahat. Kematian Ibu yang damai dan hening.
"Aku berpikir bahwa tidak seorangpun akan mengubur dan menghadiri pemakamanku. Kematianku tidak ada akan mempengaruhi hidup orang. Penggali makam tidak akan mau mengantar teman mereka pada liang lahat," kata Derman.
Dua tahun adalah waktu yang berlalu dengan singkat setelah aku membuka kotak memori masa lalu. Kehidupanku dilucuti oleh Ibu. Dia mengajakku untuk tidak menangisi kematian. Orang hanya boleh menerima tragedi dalam kehidupan. Kami memiliki banyak kesamaan, termasuk pada nasib.
Akan tetapi, aku tidak selalu menerima tragedi sebagai kondisi natural yang harus diterima. Ibu sempat menolak kehadiran Helena. Kami akan bertunangan. Namun, ini adalah mimpi buruk dalam hidup Ibu. Sebulan sebelum kematian Ibu, tidak ada restu. Aku melawan, akan tetapi Ibu tetap pada keputusan awalnya. Aku patah ara. Aku mencintai Helena.
Kemiskinan telah merawat kedamaian dalam hidup kami. Ayah meninggal sewaktu aku berumur dua bulan. Dia tidak menyisakan uang apapun, bahkan tidak seperak pun meski sekadar membelikan sebutir beras untuk makan kami setelah kematiannya.
Ibu berpikir bahwa kemiskinan adalah hal terbaik untuk memberikan kepadaku sebuah makna hidup yang sempurna. Karena itu, dia tidak mengirimku ke sekolah sebab dia takut segalanya akan berubah di dalam ruang itu.
Dia salah. Aku telah melawan kehidupan dan mengambil kesempatan untuk mempertahankan hidup kami. Ibu tidak memiliki alasan untuk membenci pilihanku saat itu.
Kecuali sikapnya pada Helena.