Atraksi seni budaya tidak sekedar mengeksplor keberagaman seni budaya yang menghibur audiens (pengunjung), namun bisa menjadi media kritik sosial terhadap aktivitas eksploitasi yang menggerus peradaban manusia.
Itulah yang terjadi pada Festival Danau Lindu (FDL) 2025 yang digelar beberapa waktu lalu di Desa Tomado, Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah.
Dari sekian komunitas atau sanggar seni yang ambil bagian dalam atraksi seni budaya di perhelatan FDL. Komunitas Seni Tamungku Dolo dari Kabupaten Sigi yang tampil pada hari kedua, mampu menghipnotis ribuan pengunjung yang hadir.
Bagaimana tidak, Komunitas Seni ini menampilkan atraksi seni budaya yang beda dengan lainnya. Yakni atraksi bertema, "Instalasi di Negeri Pangkalan".
Sebuah atraksi yang menyoroti keberadaan eksploitasi tambang yang sejatinya relevan dengan kondisi yang terjadi di daerah Sulawesi Tengah.
Namun jangan berharap atraksi ini memberi atensi terhadap dampak positif keberadaan tambang yang menjadi primadona di bumi Sulawesi Tengah.
Sebaliknya atraksi yang  justru mengkritik tajam eksploitasi tambang yang merusak lingkungan dan tidak berdampak  pada pemerataan  kesejahteraan bagi masyarakat lingkar tambang.
Kritik disampaikan bukan hanya lewat tarian dan teatrikal, namun juga narasi yang disampaikan oleh seorang narator wanita. Dengan deskripsi yang jelas, lugas dan tegas. Dimana beberapa kali mendapat aplaus pengunjung.
Pesan Moral Bagi Pengunjung
Komunitas Seni Tamangku Dolo sepertinya sudah menyiapkan penampilannya, guna melakukan atraksi yang berisi otokritik terhadap eksploitasi tambang. Termasuk kesiapan unsur penari muda dan pemusik yang terdiri dari kaum pria dan wanita.
Karena kapan lagi kritik bisa dilihat dan didengar pesannya oleh ribuan pasang mata kalau bukan dalam momentum festival. Bukan sekedar berpartisipasi dalam festival, namun momentum untuk bersuara terhadap aktivitas yang mendegradasi lingkungan.Â
Salah satu kesiapan itu adalah menghadirkan instalasi berupa tangga horisontal berukuran tinggi yang diletakkan di depan panggung. Dimana sebagai simbol instrumen tambang yang digunakan oleh sejumlah penari pria untuk beraksi
Yakni atraksi teatrikal unik dan mendebarkan, saat beberapa penari bergelantungan di ketinggian, memperagakan aktivitas penambangan. Diiringi alunan musik dan kidung yang dimainkan lewat alat tradisional, memandu gerakan lincah para penari pria.
Rasa kuatir, berdebar dan decak kagum meliputi penonton menyaksikan teatrikal yang memadukan tarian, musik dan narasi. Sebuah perpaduan luar biasa. Saya yang turut menyaksikan diantara ribuan pengungjung turut terpesona, melihat atraksi yang penuh effort tersebut.
Beberapa kali aksi tarian berhenti sejenak memberi kesempatan sang narator wanita menyampaikan narasi kritik sosial yang tajam terhadap eksploitasi tambang. Membuat pengunjung memberi aplaus bahkan sesekali berteriak setuju, seakan mengamini apa yang disampaikan narator.
Salah satu kalimat dari narasi yang disampaikan menyebutkan:
"Bumi pertiwi sedang terluka, pohon-pohon banyak di tebang, sungai-sungai beraroma busuk limbah, gunung-gunung menjerit mengeluarkan amarah. Ibu Pertiwi merintih."
Pesan moralnya adalah ketika ketamakan manusia  tidak terkendali dalam mengeksploitasi sumber daya tambang dan merusak lingkungan, maka disitulah bencana alam mengintai. Seperti banjir bandang, tanah longsor, pencemaran lingkungan dan sebagainya.
Uniknya sang narator turun dari panggung menyampaikan narasi dalam bentuk puisi, mata ketemu mata dengan pengunjung. Seakan kurang afdol jika hanya bernarasi di atas panggung.
Uniknya lagi narasi disampaikan dalam bahasa Indonesia, yang pesan kritik sosialnya bisa ditangkap secara jelas oleh seluruh pengunjung yang hadir dari berbagai wilayah di Sulteng. Â
Soal perlunya narasi yang bisa dipahami oleh pengunjung, sempat saya diskusikan dengan sejumlah rekan aktivis sambil ngopi di salah satu warung kuliner di lokasi festival.
Bahwa atraksi seni budaya yang ditampilkan dalam event festival, sejatinya mengandung pesan moral yang bersifat edukasi. Karena itulah perlu ada narasi (deskripsi) yang bisa menjelaskan tujuan atraksi seni yang ditampilkan.
Atraksi seni budaya yang menarik dan memukau yang menghadirkan  imajinasi dibenak pengunjung adalah sebuah keniscayaan. Namun memaknai pesan moral yang dikandungnya, perlu untuk dinarasikan. Â
Apalagi bagi pengunjung yang baru pertama kali melihat langsung atraksi seni budaya. Dibalik kekaguman atau penampilan atraksi budaya, menjadi momen untuk mengedukasi, sehingga pengunjung bisa membawa pulang pesan moral dari atraksi yang disaksikan.
Turut Disaksikan Pejabat Daerah
Menariknya atraksi seni budaya yang menampilkan kritik tajam tentang eksploitasi tambang turut disaksikan Pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sigi. Baik Bupati, Wakil Bupati dan pejabat lainnya yang menyaksikan dari tenda VIP. Â
Artinya pesan moral  bukan hanya ditangkap oleh pengunjung yang menyaksikan dari bangku yang terbuat dari bambu, namun juga pejabat yang duduk dari balik tenda VIP. Dimana  serius menyaksikan setiap teatrikal yang ditampilkan oleh sanggar seni budaya.
Pesan moral sebagai kritik sosial kepada pejabat di Kabupaten Sigi sebagai pemangku pemerintahan adalah, harus punya political will terhadap dilema penambangan yang merusak lingkungan.
Serta perlu bersikap tegas terhadap praktek penambangan ilegal yang rentan terjadi di daerah Sigi. Seperti penambangan emas tanpa izin (PETI) yang sempat marak di Dataran Lindu.
Termasuk juga aktivitas PETI yang sempat terjadi di kawasan Dongi-dongi. Dimana dampak lingkungan turut dirasakan di Kabupaten Sigi. Seperti banjir bandang dan tanah longsor.
Juga agar Pemkab Sigi berani bersikap tegas terhadap kebijakan sektor pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan dibanding sektor ekstraktif berupa tambang yang mendegradasi lingkungan.
Berdasarkan Data dari Dinas Energi dan Sumbe Daya Mineral (ESDM) Pemprov Sulawesi Tengah, untuk tambang terdapat 3 pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) galian C.
Dari 3 IUP di Kabupaten Sigi tersebut, 2 sudah IUP sudah dihentikan secara permanen atau dicabut oleh Gubernur Anwar Hafid beberapa waktu lalu.
Adapun. Data di Kabupaten Sigi berbeda dengan yang ada di Kabupaten Donggala yakni sebanyak 82 IUP serta Kota Palu sebanyak  39 IUP. Â
Walau keberadaan tambang (galian C) secara legal atau memiliki IUP di Kabupaten Sigi masih minim, namun demikian Pemkab setempat punya tanggungjawab untuk melakukan pengawasan.
Yakni terhadap kaidah teknis serta tata ruang kelola pertambangan yang baik dari pemegang IUP. Tujuannya agar pengelolaan tambang tidak menjadi ancaman bagi degradasi lingkungan di daerah Sigi.
Apresiasi terhadap seluruh komunitas atau sanggar seni budaya yang sudah ambil bagian dalam Festival Danau Lindu 2025. Sudah menghadirkan atraksi yang menghibur pengunjung dan menjaga kelestarian seni budaya daerah.
Namun secara pribadi saya memberi atensi terhadap Komunitas Seni Tamungku Dolo yang sudah tampil sudut pandang otoritik  yang relevan dengan isu eksploitasi tambang di daerah Suawesi Tengah.Â
Mengingat preferensi terhadap sudut pandang terkait isu (tema) yang akan ditampilkan terpulang kepada komunitas atau sanggar seni yang bersangkutan. Tentu banyak isu lokal (daerah) yang bisa dieksplor dan dipertunjukkan di ruang publik Â
Termasuk ketimpangan yang ada di depan mata,namun luput dari penanganan pemangku kebijakan. Disinilah peran komunitas (sanggar) seni budaya untuk mengingatkan kepada semua stakeholder. Untuk senantiasa menjaga peradaban bukan sebaliknya merusak peradaban.
Sebagaimana pesan dari narator kepada pengunjung, "ketika pintu-pintu tambang terbuka, manusia rakus pada dirinya. Manusia  serakah merusak paru-paru bumi, sehingga bumi malas mengeluarkan isi perutnya."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI