Begitu juga pernah merasakan menunggang kuda dari Sadaunta menuju Desa Puroo dengan perasaan was-was. Kuatir kalau-kalau kuda terjatuh ke dalam jurang yang dalam, bisa berbahaya bagi keselamatan.
Begitulah perjuangan masyarakat Lindu saat itu. Di mana harus berjuang berjalan kaki melintasi medan berat, demi menembus konektivitas. Belum lagi kalau ada yang sakit hendak dirujuk, susah payah harus ditandu dengan berjalan kaki.
Situasi di saat belum adanya akses jalan, salah satu warga Lindu disaat itu pernah mengatakan kepada saya bahwa, Dataran Lindu belum merdeka. Karena belum ada jalan tembus ke kampung.
Pernah terlintas pikiran pesimis pada beberapa masyarakat saat itu, bahwa infrastruktur jalan antara Sadaunta-Lindu tidak bisa dibangun. Mengingat medannya yang sempit, antara dinding gunung dan jurang.
Selain tu ruas jalan berada dalam Kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang tidak boleh ada pembangunan sarana umum di dalam kawasan. Termasuk sarana infrastruktur jalan, mengingat keberadaan hutan yang dilindungi.
Namun cerita di tahun 1990an itu, sudah berubah di tahun 2025 ini. Ruas jalan dengan konstruksi beton dalam kategori mantap, membentang dari Dusun Sadaunta hingga ke Desa Anca di Dataran Lindu sepanjang 17 kilometer.
Dataran yang dulunya terisolir kini bertransformasi dari aspek konektivitas dengan terbukanya aksesibilitas transportasi darat yang dilalui kendaraan roda empat. Baik ukuran kecil berupa Pick Up maupun besar seperti Dump Truck.Â
Dataran yang dulunya dianggap tidak merdeka, kini benar-benat merdeka dengan keberadaan jalan yang bisa memobilisasi orang maupun logistik. Termasuk komoditi pertanian masyarakat, secara cepat dan dalam jumlah banyak.