Saat melintasi ruas jalan Dusun Sadaunta Kecamatan Kulawi menuju ke Desa Tomado Kecamatan Lindu baru-baru ini, memori kembali ke pertengahan tahun 1990an, saat wilayah Dataran Lindu masih terisolir. Di mana kendaraan bermotor belum bisa tembus, karena tidak ada akses jalan.
Saat itu warga Lindu yang ada di empat Desa yakni Puroo, Langko, Tomado dan Anca harus berjalan kaki sejauh belasan kilometer. Demi bisa sampai ke Dusun Sadaunta yang berada di poros jalan Palu-Kulawi Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).Â
Namun jangan berharap jalan kaki melewati jalur nyaman dan mudah. Sebaliknya melintasi jalan setapak pendakian dan penurunan yang curam yang sempit, berada di antara dinding gunung serta tebing jurang yang dalam.
Masyarakat harus berhati-hati saat melintas, karena kondisi medan jalan yang sulit dan membahayakan. Hamparan pepohonan lebat dan suara debit air sungai yang terdengar dari ketinggian, menjadi teman dalam perjalanan.
Adapun satu-satunya alat transportasi untuk mengangkut logistik atau barang milik warga saat itu adalah kuda. Baik barang kebutuhan rumah tangga, bahan komoditi, hingga perlengkapan usaha pertanian.
Bisa dibayangkan kuda yang membawa banyak barang, harus melintasi jalan sempit, curam dan mendaki. Bahkan terkadang mengangkut warga yang tidak ingin berjalan kaki, karena medan yang berat.
Namun kuda-kuda Dataran Lindu saat itu sudah teruji dan terlatih melewati jalur jalan Sadaunta-Lindu begitupun sebaliknya. Dipastikan kuda tidak akan terperosok ke dalam jurang, walau membawa beban baik barang maupun orang.
Saya sudah pernah merasakan langsung berjalan kaki dari Sadaunta hingga Desa Puroo selaku desa pertama di Dataran Lindu. Melintasi jalan mendaki dengan jurang terjal di samping. Begitu susah payah berjuang melintasi medan yang berat, hingga sampai ke tujuan.
Begitu juga pernah merasakan menunggang kuda dari Sadaunta menuju Desa Puroo dengan perasaan was-was. Kuatir kalau-kalau kuda terjatuh ke dalam jurang yang dalam, bisa berbahaya bagi keselamatan.
Begitulah perjuangan masyarakat Lindu saat itu. Di mana harus berjuang berjalan kaki melintasi medan berat, demi menembus konektivitas. Belum lagi kalau ada yang sakit hendak dirujuk, susah payah harus ditandu dengan berjalan kaki.
Situasi di saat belum adanya akses jalan, salah satu warga Lindu disaat itu pernah mengatakan kepada saya bahwa, Dataran Lindu belum merdeka. Karena belum ada jalan tembus ke kampung.
Pernah terlintas pikiran pesimis pada beberapa masyarakat saat itu, bahwa infrastruktur jalan antara Sadaunta-Lindu tidak bisa dibangun. Mengingat medannya yang sempit, antara dinding gunung dan jurang.
Selain tu ruas jalan berada dalam Kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang tidak boleh ada pembangunan sarana umum di dalam kawasan. Termasuk sarana infrastruktur jalan, mengingat keberadaan hutan yang dilindungi.
Namun cerita di tahun 1990an itu, sudah berubah di tahun 2025 ini. Ruas jalan dengan konstruksi beton dalam kategori mantap, membentang dari Dusun Sadaunta hingga ke Desa Anca di Dataran Lindu sepanjang 17 kilometer.
Dataran yang dulunya terisolir kini bertransformasi dari aspek konektivitas dengan terbukanya aksesibilitas transportasi darat yang dilalui kendaraan roda empat. Baik ukuran kecil berupa Pick Up maupun besar seperti Dump Truck.Â
Dataran yang dulunya dianggap tidak merdeka, kini benar-benat merdeka dengan keberadaan jalan yang bisa memobilisasi orang maupun logistik. Termasuk komoditi pertanian masyarakat, secara cepat dan dalam jumlah banyak.
Dulunya jalan setapak berbatu terjal dan mendaki, telah berganti dengan ruas jalan lebar berukuran sekitar enam meter. Dimana bisa dilalui dua kendaraan mobil sekaligus secara berlawanan arah dengan lancar.
Masyarakat yang dulunya pesimis bakal dibangun sarana jalan untuk menghubungkan Dataran Lindu dan Sadaunta, kini tersenyum sudah punya jalan bagus. Di mana transportasi emakin cepat dan mudah.
Pelaksanaan Festival Danau Lindu (FDL) 2025 menjadi bukti bagaimana ribuan pengunjung melintasi ruas jalan Sadaunta-Lindu menuju lokasi, menggunakan motor dan mobil secara lancar dan nyaman.
Saya salah satu yang berkesempatan menjajal ruas jalan tersebut untuk pertama kali. Serta merasakan pentingnya sarana jalan bagi konektivitas antara dataran Lindu dengan wilayah Kulawi.
Saya juga menyempatkan melintas hingga ke ujung Desa Anca, di mana jalan dengan konstruksi cor beton berakhir di dermaga lama. Terlihat konstruksi beton pada jalan berukuran tebal dan tahan untuk dilintasi kendaraan roda empat.
Bayangkan, dulunya butuh waktu berjam-jam berjalan kaki melewati medan berat. Kini hanya butuh 30 menit dengan kendaraan bermotor tiba di Desa Puroo Dataran Lindu.
Jika dulunya di tengah desa di Dataran Lindu jalan becek dan rusak, kini sudah dalam kondisi bagus dan mantap. Pengendara dapat melintas dengan lancar, sembari menikmati landscape alam yang mempesona.
- Intinya keberadaan infrastruktur jalan yang memadai di Dataran Lindu, telah mendorong peningkatan perekonomian masyarakat setempat. Serta mendukung pembangunan dan pelayanan publik di sejumlah sektor. Baik pertanian, pendidikan, kesehatan dan pariwisata.
Disinilah bukti pemerintah hadir untuk bahu-membahu meretas keterisoliran dan membuka konektivitas lewat aksesibilitas transportasi darat di Dataran Lindu.
Baik Pemerintah Kabupaten Sigi, Provinsi Sulteng hingga Pemerintah Pusat melalui BPJN Sulteng Kementerian PU. Dimana BPJN Sulteng melakukan pekerjaan rekonstruksi akses jalan Danau Lindu dengan menggunakan beton rigid.
Pembelajaran dari Dataran Lindu
Beruntunglah wilayah Dataran Lindu sudah terbuka konektivitas dengan keberadaan ruas jalan yang mantap. Walau sesekali terjadi longsor di ruas ruas jalan Sadaunta-Lindu, namun setidaknya kendala aksesibilitas sudah teratasi.
Berbeda dengan beberapa wilayah di Kabupaten Sigi yang masih belum bisa ditembus kendaraan roda empat, karena belum memiliki infrastruktur jalan yang memadai. Seperti di wilayah Kecamatan Pipikoro dan Kulawi.
Transportasi masyarakat maupun mobilisasi barang maupun orang ke wilayah yang masih terisolir tersebut, menggunakan kendaraan roda dua alias motor dengan kondisi jalan yang rusak dan sulit dilalui.
Angkutan dengan jasa ojek motor tersebut tentu terbatas, tidak efisien dan tidak efektif. Belum lagi biaya mobilisasi barang yang tinggi berdampak pada masyarakat yang harus mengeluarkan biaya besar.
Ini menjadi pekerjaan rumah sekaligus tantangan bagi Pemerintah Kabupaten Sigi dalam meretas realitas keterisoliran tesebut. Tentu dengan bersinergi dengan lintas Pemerintah untuk bisa menangani secara bersama.
Pastinya butuh waktu untuk menangani realitas tersebut. Namun tidak ada yang tidak bisa selama diperjuangkan. Seiring dengan salah satu misi Pemprov Sulteng saat ini.
Yakni pembangunan infrastruktur berorientasi pada konektivitas antar wilayah dan antar sektor. Artinya ke depan bagi wilayah yang infrastruktur jalan yang belum memadai, harus menjadi perhatian serius Pemerintah, untuk terbukanya konektivitas.
Seperti di wilayah Dataran Lindu yang sudah keluar dari kondisi terisolir dengan melakukan transformasi konektivitas. Bahkan bisa menggelar event festival wisata yang dihadiri banyak pengunjung. Karena memiliki transportasi darat yang memadai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI