Adanya sorotan publik terhadap profesionalisme kinerja aparat Kepolisian, menjadi relevan di tengah adanya polemik terkait pembahasan Revisi Undang-Undang Kepolisian oleh DPR RI.
Ketua DPR RI Puan Maharani sebagaimana dilansir oleh KOMPAS.com telah menegaskan bahwa, belum ada pembahasan apa pun mengenai revisi Undang-Undang Kepolisian yang dilakukan oleh DPR RI periode 2024-2029.
Puan juga memastikan bahwa, draf naskah maupun daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi UU Polri yang beredar dan banyak diperbincangkan di media sosial, adalah dokumen tak resmi.
Seperti diketahui dalam wacana revisi  yang mencuat di ruang publik, berpusar pada sejumlah pasal dalam UU no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian.  Diantaranya pasal 14 ayat huruf g, pasal 16 ayat 1 huruf g , pasal 30 ayat 2 dan pasal lainnya.
Dimana pasal yang sudah beredar tersebut dianggap sebagai pasal kontroversi, sehingga diminta kepada DPR RI dalam hal ini Komisi III untuk tidak terburu-buru melakukan pembahasan.
Lepas dari adanya polemik terkait pembahasan oleh elemen masyarakat, maka patut untuk dicermati mana pasal atau ayat dalam UU Kepolisian yang sejatinya perlu direvisi, Â namun luput dari DIM.
Padahal  DIM yang perlu direvisi adalah yang berkaitan dengan urgensi kinerja Kepolisian terhadap kepentingan umum dan pelayanan publik. Bukan yang menimbulkan kontroversi karena dianggap mengekang kebebasan publik.
Diketahui ada celah dalam pasal UU Kepolisian yang relevan dengan profesionalisme Kepolisian. Yakni terkait dengan pemberian sanksi, guna memberi afirmasi bagi aparat Kepolisian, senantiasa berada dalam koridor profesionalisme.
Dalam UU tentang Kepolisian, aspek pemberian saksi (punishment) tidak termaktub dalam pasal maupun ayat di UU tersebut. Sementara terkait apresiasi (reward) justru disebutkan dengan jelas.