Strategi Syariah LAZIS dalam Pemberdayaan UmatÂ
Zakat, infak, dan sedekah bukan sekadar angka dalam laporan keuangan. Ia adalah titipan dari langit, yang turun membawa harapan besar: menegakkan keadilan, menghapus kemiskinan, dan mengangkat martabat mereka yang terpinggirkan. Namun hari ini, masih banyak lembaga amil zakat (LAZIS) yang belum benar-benar menjadikan dana ini sebagai alat pemberdayaan. Sebagian besar masih terjebak dalam pola konsumtif yang menyalurkan dana untuk kebutuhan sesaat, tanpa membangun jembatan menuju kemandirian.
Padahal, Rasulullah sudah memberi teladan yang sangat jelas. Zakat bukan hanya untuk menyambung hidup, tapi untuk menumbuhkan kehidupan. Bukan sekadar belas kasih, tapi juga strategi perubahan sosial dan ekonomi. Sebagaimana dalam sabdanya:
"Lebih baik bagi salah seorang di antara kalian mengambil talinya, lalu mencari kayu bakar dan menjualnya, daripada meminta kepada orang lain". (HR. Bukhari no. 2074, Muslim no. 1042)
Zakat sebagai Alat Pemberdayaan
Rasulullah tidak hanya memerintahkan zakat dikumpulkan, tapi juga digunakan untuk membimbing dan membebaskan. Dalam riwayat lain, beliau bahkan memberi kapak kepada sahabat agar bisa bekerja sendiri. Bukan diberi uang tunai lalu dibiarkan begitu saja. Itulah zakat produktif dalam bentuk paling awal, zakat yang menghidupkan, bukan yang membuat bergantung.
Semangat ini terus berlanjut di masa para khalifah. Umar bin Khattab ra. memperluas cakupan administratif zakat, dan Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai pemimpin yang berhasil mendistribusikan zakat hingga tak tersisa lagi penerima yang layak. Ini bukan dongeng sejarah, tapi bukti bahwa pengelolaan zakat yang produktif bukan hanya mungkin, melainkan harus menjadi arah perjuangan kita hari ini.
Secara syariat, jalan itu sudah terbuka lebar. Fatwa DSN-MUI No. 86/DSN-MUI/XII/2012 menegaskan bahwa zakat boleh dikelola dalam bentuk investasi produktif asal tidak mengurangi hak mustahik dan dikelola secara amanah, profesional, dan akuntabel. Bahkan dalam Surah At-Taubah ayat 60, golongan fi sabilillah menjadi dasar argumentasi kuat bahwa zakat dapat digunakan untuk perjuangan membangun kemandirian umat.
Namun, tantangan di lapangan banyak LAZIS yang masih minim pengalaman dalam program pemberdayaan. SDM mereka lebih terbiasa dengan kegiatan penyaluran konsumtif ketimbang merancang program jangka panjang. Belum lagi kendala ekosistem pendukung: dari mitra usaha, pelatihan, akses pasar, hingga minimnya laporan dampak yang bisa dipertanggungjawabkan ke publik.
Banyak umat Islam belum memahami bahwa zakat dan wakaf bukan hanya sekadar disalurkan, tetapi bisa dikelola secara produktif dan berkelanjutan sesuai syariah. Ketika istilah seperti zakat saham, wakaf tunai digital, atau skema permodalan syariah disebutkan, responnya masih dingin. Rendahnya literasi menjadi hambatan besar. Maka diperlukan gerakan edukasi masif yang memanfaatkan media digital, konten dakwah kreatif, dan kolaborasi dengan dai muda serta influencer muslim. Literasi adalah jalan pembuka partisipasi.
Namun literasi saja tidak cukup jika distribusi zakat masih tersentral di kota besar. Sementara di desa dan pelosok, tanah-tanah wakaf yang potensial dibiarkan terbengkalai. Ketimpangan ini tidak hanya soal akses, tapi juga soal arah. LAZIS perlu mengambil langkah proaktif dengan membangun perkebunan wakaf untuk petani mustahik, menciptakan desa wisata edukatif Islam, menghadirkan penginapan syariah berbasis komunitas, hingga membuka marketplace yang menyalurkan produk dari penerima zakat daerah. Teknologi digital dan kolaborasi antarlembaga menjadi jembatan untuk mengatasi kesenjangan ini.
Di sisi lain, banyak program pemberdayaan hanya dijalankan oleh satu lembaga tanpa kolaborasi. Padahal tantangan umat terlalu kompleks untuk ditangani sendiri-sendiri. Kini saatnya membentuk ekosistem sinergi zakat dan wakaf yang melibatkan berbagai pihak: LAZIS sebagai pengelola dana, DKM sebagai penggerak lokal, pesantren sebagai basis kaderisasi, kampus sebagai pusat inovasi dan riset, pemerintah sebagai penyedia regulasi dan insentif, serta pelaku usaha sebagai mitra pemberdayaan. Kolaborasi ini bukan pilihan, tapi keharusan.
Tak kalah penting adalah pembaruan model bisnis zakat. Program yang sekadar menyalurkan bantuan sudah tak relevan dengan kebutuhan mustahik hari ini. Mereka memerlukan ekosistem usaha yang terintegrasi. LAZIS harus mulai membentuk koperasi syariah, mengembangkan saham digital wakaf, membina startup berbasis hasil zakat, dan menyediakan platform crowdfunding syariah. Inovasi ini membuka peluang publik berinvestasi sosial secara amanah dan transparan.
Agar semua itu terukur dan berkelanjutan, diperlukan sistem informasi yang andal. Tanpa manajemen data yang kuat, mustahil memastikan siapa mustahik yang aktif, mana program yang efektif, dan bagaimana mengembangkan potensi muzakki baru. LAZIS perlu membangun sistem CRM ZIS—Customer Relationship Management yang khusus untuk zakat, infak, dan sedekah. Sistem ini mencakup data profil mustahik, laporan usaha, dan umpan balik muzakki, semua terintegrasi dalam dashboard publik yang transparan dan mudah diakses. Inilah fondasi digital untuk membangun kepercayaan dan partisipasi yang lebih luas.
Dari Bantuan ke Kemandirian, Dari Laporan ke Perubahan
Kini saatnya LAZIS melangkah lebih berani, bukan untuk mengambil risiko tanpa arah, tetapi untuk menapaki jalan baru yang lebih berdampak dan bermartabat. Era pasif telah usai. Profesionalisasi SDM harus menjadi langkah awal dengan merekrut tenaga ahli di bidang ekonomi syariah, pengembangan UMKM, hingga pemberdayaan komunitas akar rumput. Adakan pelatihan internal berbasis best practice zakat produktif, susun SOP bersama Dewan Syariah, dan bangun program berbasis komunitas dengan skema modal bergulir yang bebas riba, adil, dan memberdayakan.
Transformasi digital bukan lagi pilihan. Laporan keuangan, audit dampak, sistem penyaluran, hingga portal investasi wakaf harus tersedia dalam satu ekosistem digital yang ramah pengguna, transparan, dan terintegrasi. Dengan begitu, zakat dan wakaf tidak lagi diam dalam catatan, tapi bergerak menjadi aset hidup yang terus tumbuh dan bermanfaat lintas generasi.
Zakat dan wakaf tidak kehilangan maknanya ketika dikelola dengan visi dan inovasi. Justru di titik inilah keduanya menemukan jati dirinya sebagai instrumen perubahan peradaban. Sebab pengelolaan amal bukan semata soal dana, tetapi soal kepercayaan, keberpihakan, dan keberanian menegakkan keadilan sosial dalam bingkai syariah.
Rasulullah telah menyalakan obor itu dengan masjid sebagai pusat peradaban. Para khalifah dan ulama menjaga cahayanya dengan ilmu dan keteladanan. Kini, giliran kita. Menjadi pengelola yang jujur, kreatif, dan visioner yang menjadikan setiap zakat dan wakaf sebagai pijakan untuk membangun masa depan umat lebih mandiri, lebih berdaya, dan lebih mulia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI